Hari minggu, 4 september 2016 lalu, Suara Anak Surabaya mengadakan nonton bareng film dokumenter “The Beginning of life” bersama para ayah dan ibu yang penuh semangat. Antusiasme para orang tua hebat tersebut ditunjukkan dengan datangnya mereka yang juga berasal dari wilayah di luar Surabaya, seperti Sidoarjo, Gresik bahkan Mojokerto. Bertempat di ruang Auditorium, Museum Tugu Pahlawan Surabaya, siang itu total ada 20 orang tua yang berkumpul untuk ikut nonton bareng film dokumenter tersebut.
Ada yang pernah mengenal istilah PreMenstrual Syndrome, atau PMS? Perempuan kalau menjelang datang bulan biasanya mendadak jadi lebih galak dari macan, atau lebih sensitif. Entah ada angin apa, tiba-tiba pengen nangis waktu dengar lagu mellow. Nyeri di sekitar perut dan pinggang di 3 hari pertama menstruasi itu juga jamak terjadi pada saat PMS. Konon katanya sakitnya di awal menstruasi sama dengan sakitnya 10 kali lipat ditonjok dari dalam. Jadi mengertilah wahai para lelaki, jika tiba-tiba wanitamu mendadak jadi sensi, bersabarlah…
Saya punya teman yang kalau hari pertama menstruasi kesakitan bukan main. Wajah pucat, keringat dingin, perut nyeri yang teramat sangat, dan badan lemas. Sudah bisa dipastikan semua aktifitas pun terganggu, harus cuti kerja dan bolos kuliah. Bahkan pernah sakit hebat hari pertama menstruasi pas liburan bersama. Gagal lah acara jalan-jalan dan berpetualang. Saya sendiri pernah mengalami hal serupa. Jangan ditanya sakitnya. Sampai teman sekantor yang lelaki semua itu harus memapah saya pulang ke kamar kost untuk istirahat. Wajah saya pucat pasi, perut rasanya seperti tercabut dari dalam. Badan lemas tak berdaya menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Akhirnyaaaa.. setelah satu tahun puasa nonton, pecah telor juga! Untuk pertama kalinya kita nonton lagi, dan kali ini spesial karena nontonnya bareng anak-anak. Kira dan Kara baru pertama kali masuk bioskop dan nonton di layar yang super lebaar, dengan suara yang cetar membahana.
Hari kamis yang lalu, sedianya kita mau nonton Inside Out, ternyata malah nyasar nonton Battle of Surabaya. Battle of Surabaya memang sudah jadi incaran. Karena kita gak tahu kalau Battle of Surabaya sudah tayang, jadi bilangnya ke Kira dan Kara nonton Inside out. Ternyata setelah sampai di bioskop dan mau beli tiket, diputuskanlah nonton Battle of Surabaya.
Wah ini BBnya kurang! Kok BBnya dibawah garis merah?! Jangan-jangan kurang gizi… Anaknya kurus sekali…
Saya sudah terlalu sering mendengar kalimat-kalimat seperti itu. Apalagi dengan 2 anak yang lahir premature dan perkembangan Berat Badan yang boleh dibilang Slow-growth. Sampai saat ini usia 4 tahun lebih, Berat Badan Kara, salah satu anak kembar saya tidak pernah lolos dari garis merah. Petugas POSYANDU pun sudah sangat hafal dengan KMS yang saya bawa. Tanpa melihat nama, hanya melihat kurva, bisa menebak kalau itu KMS Kara.
Tepat seminggu setelah acara liburan kami ke Jogja, saya mendapati Kara panas tinggi hingga 40,8 DC. Saat itu tidak ada tanda-tanda mau flu seperti bersin-bersin atau hidung berair. Pagi berangkat ke sekolah masih sehat, ceria, dan fit seperti biasanya. Pulang sekolah masih sempat makan siang dan ganti baju. Tiba-tiba ketika sedang bermain dengan Kira saya perhatikan wajahnya mulai sayu. Saya pegang dahinya, demam. Saya ukur menggunakan thermometer, whoalaaa.. sudah 39,8 DC saja. Bocah saya satu ini memang sedikit ajiiib deh. Meskipun paling mungil di keluarga, tapi tenaga dan kemauannya salah satu yang paling besar. Panas segitu dia masih saja bermain seperti biasa, hanya saja matanya tampak sayu. Tak lama kemudian dia benar-benar tumbang alias lemas. Setelah diukur panasnya sudah 40,2 DC. Astagaaa.. ada apa ini. Cemas tentunya. Karena demam yang tidak ada tanda-tanda tanpa kulonuwun, permisi dulu ini yang sering bikin dag-dig-dug.
Beberapa waktu yang lalu saya membeli mesin jahit portable. Kalau gak salah sih tipenya FHSM-202. Ini mesin jahit mini yang sudah memakai 2 benang, lengkap dengan pedal dan adaptor. Mesin jahit yang dibanderol dengan harga pasaran 200rb’an ini memiliki fitur yang sederhana dan diperuntukkan bagi kerja jahit sederhana. Berikut penampakan si mini portable di meja kerja saya.
Ukurannya tidak lebih besar dari laptop. Beratnya juga gak sampai 1,5kg. Jadi cukup ringan dijinjing kesana kemari. Untuk mesin jahit dengan harga 200rb’an, ini sangat layak untuk diadopsi. Kerjanya stabil dan gak ribet. Tutorialnya banyak di jumpai di youtube. Jadi gak terlalu bingung lah. Apalagi kalau sebelumnya pernah pegang mesin jahit jadul macam singer dan kawan-kawannya, pasti gak bingung untuk masukin alur benangnya. Mostly hampir sama dengan alur benang di mesin jahit semacam singer dkk.
Ini adalah artikel yang sama yang pernah saya tulis dan dimuat di The Urban Mama. Agak telat sih untuk ditulis ulang disini. Namun issuenya tidak akan pernah lekang oleh waktu. Tips-tips yang saya dapat semoga bermanfaat untuk dibagi.
Kira dan Kara mulai GTM ketika usia 1 sampai 3 tahun. Selama 2 tahun itu makan hanya sehari 2 kali. Itupun harus dibawa jalan keliling kompleks perumahan oleh uti dan bibi pengasuhnya. Jenis makanan yang masuk hanya nasi, tempe, sate dan buah. Selain itu benar-benar ditolak, tutup mulut. Dibutuhkan usaha ekstra agar mereka mau menghabiskan porsinya. Jika makan bersama bundanya, duduk manis di meja makan, hanya bertahan hingga 2-3 suap saja. Setelah itu bubar jalan, tutup mulut, dan menangis. Karena GTM inilah akhirnya Berat badan kira dan kara susah naik. Padahal ketika MPASI segala macam makanan mau, mulai dari puree sampai ikan laut tidak pernah ditolak. Lancar.
Memiliki anak usia toddler yang sedang belajar bereksplorasi biasanya akan secara otomatis merubah tata letak rumah dan kamar. Demi keamanan dan kenyamanan bersama, barang-barang yang dianggap berbahaya biasanya akan otomatis kita singkirkan. Karena ketika si bocah lagi heboh belajar jalan, tidak ingin tiba-tiba menabrak guci kesayangan eyangnya. Aduuhh.. guci mahal berantakan, si bocah pun bisa terluka.
Begitu juga di rumah kami. Ketika Kira dan Kara mulai bereksplorasi menjelajah seluruh ruangan, belajar merangkak, lalu belajar jalan, maka otomatis susunan barang-barang di rumah sudah mulai berubah. Semua benda tajam atau yang memiliki ujung runcing kita singkirkan. Meja-meja yang pinggirannya tajam, diberikan pengaman karet. Lubang stop kontak listrik yang ada di bawah semua ditutup. Bedak, lipstick, gunting, perlengkapan make up ditutup rapat dan diletakkan di tempat yang tinggi. Perlengkapan lenong ini mungkin bukan barang yang mahal, tapi kalo berantakan dan hancur bisa bikin elus dada juga. Jadi ruangan terasa lebih lapang dan ringkas. Namun begitu tidak butuh waktu lama untuk Kira & Kara membuatnya menjadi kapal pecah, berantakan dan penuh coretan. Tak ada tembok yang selamat dari coretan pensil dan spidol dua bocah saya. Tembok-tembok di rumah sudah seperti growth chart untuk kira dan kara. Semakin tinggi badannya semakin tinggi pula gambar di tembok.
Seiring perkembangan usia dan kematangan bahasanya, maka saya mulai merubah kembali susunan ruangan. Pelan-pelan saya mulai mengembalikan lagi susunan ruangan seperti sediakala. Saya bermaksud memperkenalkan kepada mereka benda-benda apa saja yang berbahaya dan benda apa saja yang jika dengan hati-hati bisa aman digunakan. Saya tidak lagi menutup rapat kotak-kotak make up. Meskipun percayalah saya juga pernah berada pada fase dimana sprei kamar tidur saya berubah menjadi buku gambar, penuh dengan coretan lipstick. Saya juga pernah berada pada fase dimana seluruh lantai kamar tidur dipenuhi tebaran bedak. Saya baru tahu setelah mendengar suara tangisan si bocah. Rupa-rupanya ada yang jatuh terpeleset taburan bedak di lantai. Ternyata mereka habis bermain serunya ada “salju” di lantai kamar. Beruntung bedak-bedak itu tidak berterbangan ke udara, karena AC dan kipas angin sedang mati. Body lotion saya pun juga pernah menjadi sasaran tangan-tangan mungil. Sepertinya kedua gadis mungil itu terpesona dengan bau wangi lotion dan berniat mengoleskannya ke tangan dan kaki. Apa daya tenaga belum terkontrol, saat botol lotion dipencet, lotion itu berlumuran di baju mereka. Dan bocah-bocah itu tertawa gembira dengan polosnya.
Namun saya tidak pernah kapok untuk meletakkan alat-alat make up kembali ke tempatnya. Saya ingin memberikan mereka kesempatan untuk berbuat salah dan memperbaikinya lagi. Setelah tragedi-tragedi itu mereka belajar banyak. Hingga sekarang usia 5 tahun, mereka sudah lincah bagaimana mengoleskan lotion, bagaimana memakai bedak. Mereka tahu lipstick itu untuk apa, deodorant itu apa. Mereka memang belum memakai lipstick dan deodorant, namun setidaknya mereka tahu bahwa lipstick itu bukan crayon, dan deodorant itu bukan untuk digosok-gosokkan ke kaca.
Hal yang sama juga berlaku dengan mainan, buku dan alat-alat craft milik Kira dan Kara. Seiring perkembangan usianya, saya tidak lagi menyimpan rapat-rapat semua milik mereka. Buku yang dulu saya anggap bagus selalu saya letakkan di rak tertinggi. Karena sayang jika buku-buku itu hancur oleh tangan-tangan mungil mereka. Namun rupanya apa yang saya lakukan tidak menghentikan kreativitas mereka demi melihat buku-buku itu. Biasanya saya meminta mereka untuk ijin dulu ke saya jika ingin membaca buku-buku itu, sehingga saya bisa menemani mereka. Rupanya rasa penasaran itu mengalahkan segalanya. Tanpa seijin saya, mereka sering memanjat rak bukunya dan mengambil buku-buku itu. Pada akhirnya, buku-buku itu tetap saja terlepas jilidnya dan berantakan. Rak buku pun ambrol dan setelah kesekian kalinya diperbaiki pada akhirnya tak tertolong juga. Pada saat itulah saya putuskan rak tidak lagi dalam posisi berdiri, tapi dalam posisi ditidurkan. Sehingga semua buku bisa dengan leluasa mereka ambil dan kembalikan ke tempatnya. Ya mereka belajar mengembalikan lagi buku-buku itu ke tempat asalnya. Saya ajarkan kepada mereka cara mengembalikan buku dan bagaimana menatanya. Percayalah saya membutuhkan waktu berulang-ulang mengajarkannya.
Repetition is one of the best to teach the toddler.
Berulang kali saya tunjukkan dan saya ulangi untuk membuat mereka semakin terampil merapikan buku. Karena jika tidak, maka buku-buku itu akan terlipat dan sobek. Meskipun sampai hari ini jika terburu-buru mereka pun asal saja mengembalikan buku, tapi saya masih belum kapok untuk selalu mengulang kembali bagaimana caranya merapikan buku.
Lantas bagaimana dengan mainan?
Dulu saya mengelompokkannya ke dalam kontainer-kontainer besar. Dan menumpuknya di salah satu pojok ruangan. Hanya kontainer paling ataslah yang bisa dipakai main. Dulu saya berpikir dengan begitu beban merapikan mainan tidak terlalu banyak. Saya akan mengganti urutan kontainer itu secara berkala, agar mereka tidak bosan. Itu pun pikiran saya pada awalnya. Rupanya kenyataan tak seindah angan-angan. Mereka sering memanipulasi utinya, ayahnya atau siapa saja yang ada di rumah untuk membantu mereka mengangkat kontainer-kontainer itu. Hingga akhirnya saya mendapati mainan-mainan berantakan di kamar. Seiring pertumbuhannya, akhirnya mereka mampu menaiki susunan kontainer-kontainer itu dan membukanya. Sekarang, semua tutup-tutup kontainer itu pecah.
Lalu apa?
Saya menemukan sisi positif bahwa bocah saya cukup gigih untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sejak itu, saya ajak mereka untuk memilih mainan-mainannya. Karena saya melihat sudah banyak mainan yang tak lagi sesuai usianya, dan hanya tertumpuk tanpa pernah dimainkan di dalam kontainer. Mainan-mainan yang masih bagus dan tak lagi pernah dimainkan saya hibahkan ke cucu si bibi. Lalu mainan-mainan yang sering dimainkan saya kelompokkan ke dalam kardus-kardus kecil. Saya membuat storage dari kardus bekas susu UHT. Agar terlihat cantik, saya gunakan kertas kado bekas. Dengan adanya kelompok-kelompok kecil mainan, saya melatih Kira dan Kara mengklasifikasikan mainannya. Mana yang masuk ke kotak mainan Barbie, kotak hewan-hewanan, kotak balok kayu, kotak masak-masakan, dan lain sebagainya.
Rak buku & Mainan di kamar Kira & Kara
Demikian juga dengan peralatan craft mereka. Saya menggunakan kaleng-kaleng bekas yang tidak terpakai, kotak bekas tempat sepatu dan kertas kado bekas pakai untuk mempercantiknya. Saya kelompokkan alat-alat craft menjadi beberapa seperti alat tulis, alat mewarnai, cat air, stick bekas es cream, kertas origami, dan lain sebagainya. Lalu saya letakkan semua mainan dan peralatan itu ke dalam rak yang mudah di jangkau. Sebagai tambahan, saya juga memakai kardus bekas air mineral yang disusun menjadi rak.
Sejak itu, Kira dan Kara mulai belajar mengambil dan menata kembali semua kebutuhannya. Sebelum berangkat sekolah, Kira dan Kara lebih leluasa menyiapkan kebutuhan sekolahnya. Demikian juga ketika temannya datang, Kira dan Kara dapat dengan leluasa mengambil mainan yang akan digunakan bersama-sama. Dengan cara ini pula Kira dan Kara belajar bertanggung jawab dengan semua barang kebutuhannya. Termasuk jika ada barang kebutuhannya yang tinggal sedikit dan mau habis, maka Kira dan Kara bisa bertanya kapan bisa beli lagi? Apakah bunda punya cukup uang untuk membelinya? Untuk mengajarkan mereka menggunakan dan meletakkan kembali memang memerlukan usaha dan kesabaran ekstra. Tetapi saya ingin mengajarkan hal itu sedini mungkin.
Melukis dengan cat air itu selalu menyenangkan untuk anak-anak. Meniup busa-busa sabun itu juga tak kalah menyenangkan. Nah bagaimanla kalau kita satukan kegiatan itu?! Tentunya menjadi hal yang luar biasa berantakan, namun juga luar biasa menyenangkan.
Untuk membuat busa sabun warna atau colored bubble, bisa menggunakan cat air atau pewarna makanan. Karena lebih mudah dibersihkan bila terpercik ke lantai atau tangan dan kaki.
Seperti yang sering saya ceritakan di artikel-artikel sebelumnya, Kara, salah satu dari gadis kembar saya memiliki karakter yang sedikit unik. Kara sangat menyukai semua hal yang berbau princess, tetapi dia juga suka memanjat, melompat dan lari kesana kemari. Jauh lebih banyak gerak dibandingkan Kira yang sedikit boyish. Karena itulah ketika saya mendapat buku “Dongeng Putri Pemberani” karya Fitri K dan Watiek Ideo ini saya merasa bertemu karakter dongeng yang pas untuk Kara dan mungkin juga untuk Kira.