Memiliki anak usia toddler yang sedang belajar bereksplorasi biasanya akan secara otomatis merubah tata letak rumah dan kamar. Demi keamanan dan kenyamanan bersama, barang-barang yang dianggap berbahaya biasanya akan otomatis kita singkirkan. Karena ketika si bocah lagi heboh belajar jalan, tidak ingin tiba-tiba menabrak guci kesayangan eyangnya. Aduuhh.. guci mahal berantakan, si bocah pun bisa terluka.
Begitu juga di rumah kami. Ketika Kira dan Kara mulai bereksplorasi menjelajah seluruh ruangan, belajar merangkak, lalu belajar jalan, maka otomatis susunan barang-barang di rumah sudah mulai berubah. Semua benda tajam atau yang memiliki ujung runcing kita singkirkan. Meja-meja yang pinggirannya tajam, diberikan pengaman karet. Lubang stop kontak listrik yang ada di bawah semua ditutup. Bedak, lipstick, gunting, perlengkapan make up ditutup rapat dan diletakkan di tempat yang tinggi. Perlengkapan lenong ini mungkin bukan barang yang mahal, tapi kalo berantakan dan hancur bisa bikin elus dada juga. Jadi ruangan terasa lebih lapang dan ringkas. Namun begitu tidak butuh waktu lama untuk Kira & Kara membuatnya menjadi kapal pecah, berantakan dan penuh coretan. Tak ada tembok yang selamat dari coretan pensil dan spidol dua bocah saya. Tembok-tembok di rumah sudah seperti growth chart untuk kira dan kara. Semakin tinggi badannya semakin tinggi pula gambar di tembok.
Seiring perkembangan usia dan kematangan bahasanya, maka saya mulai merubah kembali susunan ruangan. Pelan-pelan saya mulai mengembalikan lagi susunan ruangan seperti sediakala. Saya bermaksud memperkenalkan kepada mereka benda-benda apa saja yang berbahaya dan benda apa saja yang jika dengan hati-hati bisa aman digunakan. Saya tidak lagi menutup rapat kotak-kotak make up. Meskipun percayalah saya juga pernah berada pada fase dimana sprei kamar tidur saya berubah menjadi buku gambar, penuh dengan coretan lipstick. Saya juga pernah berada pada fase dimana seluruh lantai kamar tidur dipenuhi tebaran bedak. Saya baru tahu setelah mendengar suara tangisan si bocah. Rupa-rupanya ada yang jatuh terpeleset taburan bedak di lantai. Ternyata mereka habis bermain serunya ada “salju” di lantai kamar. Beruntung bedak-bedak itu tidak berterbangan ke udara, karena AC dan kipas angin sedang mati. Body lotion saya pun juga pernah menjadi sasaran tangan-tangan mungil. Sepertinya kedua gadis mungil itu terpesona dengan bau wangi lotion dan berniat mengoleskannya ke tangan dan kaki. Apa daya tenaga belum terkontrol, saat botol lotion dipencet, lotion itu berlumuran di baju mereka. Dan bocah-bocah itu tertawa gembira dengan polosnya.
Namun saya tidak pernah kapok untuk meletakkan alat-alat make up kembali ke tempatnya. Saya ingin memberikan mereka kesempatan untuk berbuat salah dan memperbaikinya lagi. Setelah tragedi-tragedi itu mereka belajar banyak. Hingga sekarang usia 5 tahun, mereka sudah lincah bagaimana mengoleskan lotion, bagaimana memakai bedak. Mereka tahu lipstick itu untuk apa, deodorant itu apa. Mereka memang belum memakai lipstick dan deodorant, namun setidaknya mereka tahu bahwa lipstick itu bukan crayon, dan deodorant itu bukan untuk digosok-gosokkan ke kaca.
Hal yang sama juga berlaku dengan mainan, buku dan alat-alat craft milik Kira dan Kara. Seiring perkembangan usianya, saya tidak lagi menyimpan rapat-rapat semua milik mereka. Buku yang dulu saya anggap bagus selalu saya letakkan di rak tertinggi. Karena sayang jika buku-buku itu hancur oleh tangan-tangan mungil mereka. Namun rupanya apa yang saya lakukan tidak menghentikan kreativitas mereka demi melihat buku-buku itu. Biasanya saya meminta mereka untuk ijin dulu ke saya jika ingin membaca buku-buku itu, sehingga saya bisa menemani mereka. Rupanya rasa penasaran itu mengalahkan segalanya. Tanpa seijin saya, mereka sering memanjat rak bukunya dan mengambil buku-buku itu. Pada akhirnya, buku-buku itu tetap saja terlepas jilidnya dan berantakan. Rak buku pun ambrol dan setelah kesekian kalinya diperbaiki pada akhirnya tak tertolong juga. Pada saat itulah saya putuskan rak tidak lagi dalam posisi berdiri, tapi dalam posisi ditidurkan. Sehingga semua buku bisa dengan leluasa mereka ambil dan kembalikan ke tempatnya. Ya mereka belajar mengembalikan lagi buku-buku itu ke tempat asalnya. Saya ajarkan kepada mereka cara mengembalikan buku dan bagaimana menatanya. Percayalah saya membutuhkan waktu berulang-ulang mengajarkannya.
Repetition is one of the best to teach the toddler.
Berulang kali saya tunjukkan dan saya ulangi untuk membuat mereka semakin terampil merapikan buku. Karena jika tidak, maka buku-buku itu akan terlipat dan sobek. Meskipun sampai hari ini jika terburu-buru mereka pun asal saja mengembalikan buku, tapi saya masih belum kapok untuk selalu mengulang kembali bagaimana caranya merapikan buku.
Lantas bagaimana dengan mainan?
Dulu saya mengelompokkannya ke dalam kontainer-kontainer besar. Dan menumpuknya di salah satu pojok ruangan. Hanya kontainer paling ataslah yang bisa dipakai main. Dulu saya berpikir dengan begitu beban merapikan mainan tidak terlalu banyak. Saya akan mengganti urutan kontainer itu secara berkala, agar mereka tidak bosan. Itu pun pikiran saya pada awalnya. Rupanya kenyataan tak seindah angan-angan. Mereka sering memanipulasi utinya, ayahnya atau siapa saja yang ada di rumah untuk membantu mereka mengangkat kontainer-kontainer itu. Hingga akhirnya saya mendapati mainan-mainan berantakan di kamar. Seiring pertumbuhannya, akhirnya mereka mampu menaiki susunan kontainer-kontainer itu dan membukanya. Sekarang, semua tutup-tutup kontainer itu pecah.
Lalu apa?
Saya menemukan sisi positif bahwa bocah saya cukup gigih untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sejak itu, saya ajak mereka untuk memilih mainan-mainannya. Karena saya melihat sudah banyak mainan yang tak lagi sesuai usianya, dan hanya tertumpuk tanpa pernah dimainkan di dalam kontainer. Mainan-mainan yang masih bagus dan tak lagi pernah dimainkan saya hibahkan ke cucu si bibi. Lalu mainan-mainan yang sering dimainkan saya kelompokkan ke dalam kardus-kardus kecil. Saya membuat storage dari kardus bekas susu UHT. Agar terlihat cantik, saya gunakan kertas kado bekas. Dengan adanya kelompok-kelompok kecil mainan, saya melatih Kira dan Kara mengklasifikasikan mainannya. Mana yang masuk ke kotak mainan Barbie, kotak hewan-hewanan, kotak balok kayu, kotak masak-masakan, dan lain sebagainya.

Demikian juga dengan peralatan craft mereka. Saya menggunakan kaleng-kaleng bekas yang tidak terpakai, kotak bekas tempat sepatu dan kertas kado bekas pakai untuk mempercantiknya. Saya kelompokkan alat-alat craft menjadi beberapa seperti alat tulis, alat mewarnai, cat air, stick bekas es cream, kertas origami, dan lain sebagainya. Lalu saya letakkan semua mainan dan peralatan itu ke dalam rak yang mudah di jangkau. Sebagai tambahan, saya juga memakai kardus bekas air mineral yang disusun menjadi rak.
Sejak itu, Kira dan Kara mulai belajar mengambil dan menata kembali semua kebutuhannya. Sebelum berangkat sekolah, Kira dan Kara lebih leluasa menyiapkan kebutuhan sekolahnya. Demikian juga ketika temannya datang, Kira dan Kara dapat dengan leluasa mengambil mainan yang akan digunakan bersama-sama. Dengan cara ini pula Kira dan Kara belajar bertanggung jawab dengan semua barang kebutuhannya. Termasuk jika ada barang kebutuhannya yang tinggal sedikit dan mau habis, maka Kira dan Kara bisa bertanya kapan bisa beli lagi? Apakah bunda punya cukup uang untuk membelinya? Untuk mengajarkan mereka menggunakan dan meletakkan kembali memang memerlukan usaha dan kesabaran ekstra. Tetapi saya ingin mengajarkan hal itu sedini mungkin.