Ajari Anak Berpikir Kritis
Duo kunyil senang sekali membaca buku tentang pengetahuan dan trivia, seperti “Einstein Aja Gak Tahu”, “Fakta Paling Aneh Di Dunia” dan sejenisnya. Dengan membaca buku-buku seperti itu, mereka merasa senang ketika bercerita dan makin bangga ketika yang diceritakan adalah informasi baru buat ayah atau bundanya. Merasa lebih tahu itu bisa menyenangkan dan bikin bangga ya?
“Bund, tahu gak kenapa sirup jagung itu manis, padahal rasa jagung kan gak manis-manis banget? Aku tahu lhoo…” lalu mereka akan ngoceh tentang betapa ajaibnya proses kimia, bla… bla…
Setelah mereka senang membaca lantas apa? Kini saatnya menanamkan pada anak untuk berpikir kritis, mempertanyakan kebenaran dari apa yang dibacanya. Fungsinya apa? Di tengah arus informasi yang super deras, kalau anak melahap begitu saja semua informasi yang diterimanya, tanpa tahu bagaimana menyaringnya, ya wassalam. Mereka bisa saja terjebak dan tenggelam dalam pusaran hoaks, disinformasi dan misinformasi.
Siapa yang sering menerima share berita di whatsapp group dengan sumber yang belum jelas asalnya. Ada berita yang kelihatannya mencerahkan, ada berita yang mengkhawatirkan, bahkan banyak juga berita yang menggembirakan, tapi siapa yang tahu kalau mungkin saja 90% diantaranya adalah hoaks. Coba telan saja semua berita yang dibaca di group whatsapp atau di sosial media tersebut, maka seminggu kemudian mungkin kita sukses menderita depresi akut.
Kita mungkin dulu memang tidak diajarkan untuk berpikir kritis. Banyak orang tua jaman dulu yang lebih suka anaknya menjadi penurut, ikut apa saja yang diperintahkan dan telan saja semua yang diajarkan. Kita belum diajarkan untuk berpikir kritis, banyak tanya itu berarti kita ceriwis dan tukang protes. Stempel yang mengerikan ya?
Nah, sekaranglah saatnya untuk MENGAJARKAN ANAK BERPIKIR KRITIS!
Bisa dimulai ketika anak bertanya tentang satu hal, biasakan untuk tidak memberi jawaban langsung. Ajak anak untuk berpikir atau paling tidak tanyakan pendapatnya. Diskusi dan interaksi dua arah dalam mencari jawaban akan melatih anak untuk berpikir dan mengasah logikanya.
Selain itu kita bisa mengajari anak dalam mencari referensi. Tidak perlu menjadi orang tua superhero. Tunjukkan juga kalau kadang ayah atau bunda tidak tahu dan perlu mencari jawabannya di sumber-sumber referensi yang dibutuhkan. Ajak anak dan ajari mereka cara mencari sumber referensi yang terpercaya. Dengan demikian, anak akan terlatih dalam memilah sumber-sumber berita yang jelas.
Kadangkala anak memiliki jawaban atas pertanyaan sesuai range usianya. Mereka menguasai ilmu yang dibacanya berdasarkan pengalaman dan latar belakang ilmu yang masih dimilikinya. Kalau memang kurang tepat, jangan dihakimi. Ajak anak diskusi. Pemahaman anak usia 8 tahun tentu akan berbeda dengan anak usia 15 tahun. Karena itu tidak perlu ditertawakan atau dihakimi.
Dorong anak untuk lebih banyak bertanya juga membantu anak untuk berpikir kritis. Jangan pernah menganggap anak yang banyak bertanya itu ceriwis, lancang, berisik apalagi membuat mereka merasa malu atau tidak nyaman untuk bertanya lagi. Jika anak tak lagi nyaman bertanya ke orang tuanya, maka jangan salahkan jika anak mencari jawaban sendiri di luar, dan mendapat jawaban yang keliru atau menyesatkan. Maka bersyukurlah ketika anak masih nyaman dan suka bertanya kepada orang tuanya. Itu berarti kita punya kesempatan untuk mengajarkan mereka hal yang benar menurut kita.
Dengan mendidik anak berpikir kritis dan terbiasa mencari sumber berita yang valid, harapannya sebaran hoaks-hoaks gak jelas di group whatsapp dan sosial media dapat mulai berkurang di lingkaran pertemanan. Paling tidak mereka tidak akan terseret arus informasi yang makin deras.
Lelah gak sih membaca sebaran-sebaran berita tak jelas yang orang dengan mudah klik share tanpa memperhatikan kebeneran dan keabsahan beritanya. Lalu mereka enak saja bilang “tidak tahu” tapi lebih lelah lagi mereka tidak mau tahu. “Penyakit” seperti itu bisa menimpa siapa saja, baik itu orang dengan pendidikan tinggi hingga mereka yang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
So, buruan, selamatkan generasi penerus dengan mengajarkan anak-anak berpikir kritis!
suka suka suka, anak ceriwis artinya mereka sehat walafiat. Seneng dengerin dia ngoceh sana-sini, tanya ini apa itu apa kemudian ujug-ujug komen “Ibuk ini sampahnya jangan dibuang di got, nanti airnya gak bisa ngalir.”
Mamabear trus diam melongo alias tertegun hihihi.
hahaha… Kalau ucup yang ngoceh aku percaya. Ya gimana, ibuknya aja begitu, pasti anaknya juga kritis nih. Makin gede, siap-siap aja sering kena skakmat, buk!