Kisahku Bersama Teman-Teman SDku
Menceritakan kisah dengan teman-teman SD itu seperti memutar ulang memori saat masih introvert dan sangat pendiam.
Seorang Wiwid kecil adalah gadis pendiam, tertutup dan tidak percaya diri. Gambaran gadis cilik yang susah mengekspresikan rasa senang, sedih, takut atau marah. Sejak usianya masih single digit, dia sudah terbiasa mendapat penghakiman-penghakiman tentang kondisi keluarganya. Maka dia tumbuh menjadi gadis cilik yang pendiam dan tidak percaya diri.
Begitulah masa kecil saya. Tidak banyak teman yang saya miliki ketika masih SD. Tidak banyak teman yang mau datang dan bermain ke rumah. Banyak hal yang melatarbelakangi, tidak untuk diceritakan di sini. Namun satu hal yang pasti, gadis cilik pendiam itu memiliki tekat yang kuat dan cukup tangguh menghadapi terpaan angin.
Gadis cilik yang pendiam dan tidak percaya diri tentu saja menjadi sasaran empuk perundungan. Begitupun saya. Si perundung bukan dari teman-teman seangkatan, tetapi justru dari kakak-kakak kelas yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas dan memiliki geng teman wanita.
Saya tahu dan sadar sering ditertawakan kakak-kakak kelas setiap kali lewat. Mereka sering tertawa dan berteriak di belakang punggung saya, tentang bentuk badan saya yang mungil dan kerempeng, tentang baju yang saya pakai, atau tentang keluarga saya. Saya tidak marah, saya tidak sedih atau menangis, saya hanya tidak suka. Itu saja.
Perasaan itu tidak bisa saya ceritakan pada siapa-siapa. Saya tidak terlalu peduli dengan yang mereka tertawakan, toh mereka tidak pernah menyakiti tubuh saya. Tetapi ternyata semua cercaan itu turut memiliki andil dalam membantuk saya menjadi anak yang tidak percaya diri. Saya memiliki rasa takut menjadi bahan tertawaan dan menjadi pusat perhatian.
Perundungan, mendapat stempel-stempel buruk, ditertawakan di belakang, dilihat dari atas ke bawah seolah yang melekat di tubuh saya adalah kesalahan, sudah menjadi berkali-kali saya lewati. Bukan cuma saat masih SD, hingga sekarang dan memiliki anak pun saya masih pernah menerima tindakan serupa.
Tapi karena sudah “terlatih” sejak kecil, sekarang hal itu tidak menjadikan saya tumbang atau menyerah. Sekarang saya bisa senyum sama mereka dan melangkah anggun di depannya. Karena ternyata berkali-kali pula terbukti bahwa para perundung tersebut tidak pernah bisa melangkah lebih jauh dari yang pernah saya lewati. Mereka tidak pernah menjadi lebih kuat dari saya. Mereka juga tidak pernah bisa lebih sukses melakukan sesuatu dari saya. Jadi kenapa harus tidak percaya diri?
Namun tidak semua masa SD saya sesuram itu kok. Ketika kelas 4 saya mendapat teman seorang anak baru yang berkebutuhan khusus. Kami bersahabat sangat dekat. Kemanapun saya bermain, selalu ada dia. Dia juga satu-satunya yang mau main ke rumah. Dia juga yang selalu memberi saya semangat dan membuat saya tahu artinya “dibutuhkan”.
Teman spesial ini yang menawarkan saya arti persahabatan. Kami bersama-sama, terus duduk sebangku hingga kelas 1 SMU, hingga akhirnya dia masuk ke SMU inklusi yang cocok untuk kebutuhannya. Kami bersahabat sampai sekarang dan masih saling kunjung ketika mudik.
Bagaimana pengalaman kalian dengan kawan-kawan masa kecil? Pernahkah kalian mendapat perundungan di saat kecil? Apa efeknya di masa kini buat kalian?
Sekarang saya bisa berkata, terima kasih untuk teman-teman SD yang dulu sempat merundung, karena dari mereka saya belajar banyak hal hingga bisa menjadi sekarang. Dari mereka saya belajar mengenali teman toxic, dan menemukan banyak baik yang supportif. Sekarang saya bisa memeluk mereka dengan tulus setiap kali bertemu di saat mudik lebaran. hehehe… Cheers!
No Comments :