Belajar Parenting dari kisah DILAN dan MILEA
Film Dilan 1990 ternyata feedbacknya luar biasa yaaa… Film yang diadaptasi dari Novel Dilan, dia adalah Dilanku tahun 1990 karya Pidi Baiq ini cukup menjadi hiburan yang renyah untuk anak muda. Eh bukan cuma anak muda ding, tapi juga ibu-ibu macam kami. heuheu…
Awalnya ketika ada ajakan nonton bareng teman-teman, ada rasa enggan. Selain karena anggaran nonton yang gak ada, juga karena ngerasa bukan genre film kesukaan saya. Tapi ketika ada tawaran untuk kedua kali, dan bioskop juga udah sepi, akhirnya cusss berdua sama teman nonton filmnya. Keluar dari bioskop, ternyata hati ikut berbunga-bunga. Serasa habis dihujani kata-kata indah. hahaha… receh sekali ya bahagianya. Seneng aja gitu digombalin.
Penasaran dengan isi novelnya, akhirnya ubek-ubek dan dapatlah 2 buah novel DILAN dan 1 novel MILEA. Dalam waktu 4 hari, 3 buku habiiisss… (Ibu macam apa coba? Kayak gak ada kerjaan ajaa…) Novelnya ringan, dengan gaya bahasa yang mengalir, membacanya jadi gak kerasa. Tahu-tahu sudah habis saja.
Novel ini berkisah tentang perjalanan cinta anak SMA antara Dilan dan Milea. Mulai dari masa pendekatan hingga jadian, bahkan hingga putus. Bedanya, kalau novel DILAN diceritakan dari sudut pandang Milea, sedangkan MILEA diceritakan dari sudut pandang Dilan. Setelah baca ketiganya, kita jadi bisa menilai keseluruhan jalan cerita. Kita juga bisa menyelami bagaimana perbedaan jalan pikiran perempuan dan laki-laki, tentang bagaimana mereka menghadapi masalah dan mengambil keputusan.
Jadi, kalau kalian mau tahu kenapa Dilan dan Milea bisa sampai putus, wajib baca semua novelnya. Dengan begitu kamu tidak akan merasa patah hati yang berlebihan. Ayo ngaku, siapa yang patah hati dan gagal move on ketika tahu kalau Dilan dan Milea ternyata putus? hahaha… Gak usah baper! Baca novelnya dan nantikan seri film selanjutnya.
Sebagai seorang yang kini sudah punya anak dan pernah melewati masa-masa SMA dan ditembak sama Dilan versi KW Super, saya memiliki pesan moral yang berbeda. Ternyata setelah selesai membaca 3 novel tersebut, saya dibuat jatuh cinta pada ibunya DILAN. Kalau jatuh cinta sama DILAN kan sudah banyak yang mengalami ya? Lagian saya sudah menikah dan punya DILAN sendiri di rumah. Jadi sudah gak iri lagi sama yang di novel. Tapi kalau ibunya DILAN itu salah satu sosok ibu yang patut ditiru dan diteladani.
Siapa yang setuju kalau menghadapi anak balita dengan anak SMA itu bedanya jauuuhh… Jadi kalau kita tetap pada pola yang sama, bisa jadi anak SMA kita bakal kabur setiap hari dari rumah. ya kali anak SMA mana mau didikte macam anak TK “ayo bajunya diberesin! Mainannya jangan berantakan!”. Engap gak sih kalau di rumah isinya omelan mulu?!
Sebenarnya pada awalnya saya dibuat kagum oleh sosok DILAN yang menaruh respek tertinggi terhadap ibunya, yang kerap ia sapa dengan sebutan “bunda”. Sekesal apapun, semarah apapun, ketika ibunya yang berbicara, maka ia akan duduk diam dan tenang mendengarkan. Coba bayangkan, anak muda, laki-laki yang ada di usia sangat kritis, bisa duduk takzim mendengarkan omelan ibunya, itu yang hebat luar biasa pasti ibunya. Anak SMA itu kan masa-masa pemberontakannya luar biasa ya? itu usia yang pengennya ya “semau gue”, the only rule is no rules.
Demi belajar sifat ibunya, akhirnya khusus pada bagian interaksi dan percakapan sang bunda saya baca ulang. Bagaimana bunda berinteraksi dengan DILAN, dengan adik dan kakaknya, dengan teman-temannya, dan hasilnya menakjubkan! Berikut beberapa hal yang saya pelajari dari sosok sang bunda tentang mengasuh anak remaja:
Bunda memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berbuat salah dan memperbaikinya.
Usia anak remaja adalah usia di mana ia belajar untuk mempertanggungjawabkan semua keputusannya. karena itu, dibutuhkan dukungan bahwa keputusan anaknya adalah yang terbaik yang diambil oleh anaknya. Kalaupun memang ternyata keputusan yang diambil salah, maka anak akan belajar dari masa trial and error.
Seperti ketika Bunda harus kembali menghadapi Dilan yang tawuran dengan teman-temannya, sampai harus menginap di kantor polisi. Di situ digambarkan bahwa bunda bukan seorang yang mudah panik. Bunda memberi kesempatan bahwa Dilan sedang mempertanggungjawabkan keputusannya. Bunda pun yakin bahwa Dilan belajar sesuatu dari keputusannya. Bahkan saking kalemnya si bunda menghadapi Dilan, ia justru bisa meminta Milea untuk ikhlas dan sabar. Luar biasa bukan?
Dibandingkan harus marah-marah dan mengomel, bunda memilih memberikan kesempatan bagi Dilan untuk memperbaiki kesalahannya. Bukankah manusia tidak pernah luput dari kesalahan? Daripada harus bersusah payah menghabiskan tenaga untuk membahas kesalahan, sepertinya lebih bijak jika kita memberikan kesempatan pada anak-anak untuk memperbaiki kesalahannya.
Bunda memberikan Kepercayaan kepada anaknya
Suatu hari Dilan kembali melakukan kesalahan berkelahi dengan temannya. Hingga ia harus dikeluarkan dari sekolahnya karena melanggar peraturan untuk kesekian kalinya. Bagaimana reaksi si Bunda?
Ia berkata bahwa Bunda percaya kepada anaknya. Apabila si anak berkelahi, tentu bukan karena si anak yang memulai. Si anak berkelahi itu karena melakukan sesuatu yang menurutnya benar. Lantas bunda melanjutkan nasihatnya bahwa sebenarnya tidak semua hal harus diselesaikan dengan perkelahian. Bunda mengajarkan Dilan untuk berbuat bijaksana dengan menaruh kepercayaan dan mempertanggungjawabkannya.
Bunda memberikan kebebasan dalam mengambil keputusan.
Siapa yang tidak pernah mendengar tentang reputasi geng motor? Ketika anaknya meminta motor dan memutuskan untuk ikut bergabung ke dalam geng motor, Bunda tidak lantas menjadi orang yang frontal melarang. Bahkan ketika anaknya dikenal sebagai panglima tempur sekalipun bunda masih bisa bersikap tenang. Ada masanya ketika Bunda memanfaatkan reputasi anaknya untuk mengatur muridnya yang bandel.
Bunda memberikan kebebasan bagi Dilan untuk mengambil keputusan, karena bunda percaya bahwa ia telah menanamkan pondasi yang cukup baik terhadap anak-anaknya agar mereka tak mudah terbawa arus atau hanya sekedar ikut-ikutan. Terbukti, meski menjadi panglima tempur, Dilan digambarkan bukan sebagai sosok yang urakan.
Bunda Selalu Memberikan Pilihan, Bukan Paksaan.
Anak usia remaja bukan lagi anak yang sukarela diajari atau bahkan didikte melakukan sesuatu. Namun terkadang sebagai ibu kita punya tuntutan agar anak melakukan sesuatu. Namun masalah tidak akan berhenti jika si ibu melakukannya dengan memerintah atau memaksa anak. Nah! Bunda selalu punya pilihan untuk anak-anaknya yang seolah “memaksa” secara halus si anak melakukan sesuatu. Pilihan tersebutlah yang menggiring anak-anak melakukan hal yang dikehendaki bunda.
Seperti ketika Bunda meminta Disa untuk memanggil Banar, kakaknya, ia menggunakan kalimat:
“Bunda yang manggil atau Disa?”
Dengan kalimat pilihan tersebut, anak digiring untuk memanggil kakaknya, tanpa perlu bunda yang melakukannya. Cerdas bukan?
Bunda memberi tahu kapan ia akan marah.
Ini juga menjadi hal yang menarik dari sosok Bunda. Bunda ketika ia akan marah, maka ia memberi tahu kepada anaknya bahwa bunda akan marah. Dengan demikian ia meminta anaknya untuk bersiap-siap. Si anak akan otomatis duduk diam dan mendengarkan dengan takzim selama bunda menumpahkan amarahnya. Tidak ada yang membantah apalagi menyerang balik.
Bagaimana jika anaknya belum siap?
Maka bunda akan terus menunggu hingga anaknya siap. Bahkan tak jarang sampai lupa. Namun demikian, bunda tetap akan memberikan wejangannya ketika sudah merasa lebih tenang dan terkontrol. Sehingga anak pun tetap menaruh segan dan hormat kepada bundanya. Di sinilah seorang bunda dituntut untuk bisa mengendalikan emosinya. Bukan hal yang mudah buat saya yang bawaannya pengen nyolot dan teriak. Tapi sangat berharga untuk dipelajari sebelum kedua bocah benar-benar beranjak remaja. Jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Waktu tidak bergerak mundur.
Menarik bukan mempelajari sifat bunda dan caranya “menaklukkan” anak remaja?
No Comments :