Apakah Gotong Royong Kini Sebatas Simbol Di Dada Pancasila?
“Aku mumet sama orang-orang ini. Diajak kerja bakti bersihkan selokan aja susahnya minta ampun. Nanti kalau banjir, pada ngomel semua…”
Cerocos curhatan teman saya yang seorang bu RT, membuat saya merasa tersindir. Sebagai salah satu warga yang juga agak malas kalau diajak kerja bakti hari minggu pagi, saya dan suami lebih memilih membayar orang untuk membersihkan selokan di depan rumah. Rasanya lebih praktis, hemat tenaga tanpa harus berkotor-kotor dan berkeringat. Hari minggu masih bisa kami habiskan dengan istirahat, atau nonton film dan ngobrol bersama anak-anak.
Selain alasan ribet, bagi beberapa warga kota seperti kami, ajakan kerja bakti bisa menjadi hal yang kurang nyaman karena embel-embel harus berbasa-basi lebih lama dengan tetangga yang kadang obrolannya beda frekuensi. Maklum, kami tinggal di tengah perumahan yang sebagian besar penghuninya adalah para pensiunan yang sudah mulai sepuh. Apakah ini tanda-tanda awal lunturnya budaya gotong royong di tengah masyarakat perkotaan seperti kami?
Lunturnya budaya gotong royong ini makin terasa menyesakkan kala ada teman saya yang kesusahan saat asisten rumah tangganya terkonfirmasi positif Covid-19. Saat itu, Pak RT beserta beberapa warga mendatangi rumahnya dan meminta si asisten rumah tangga untuk dipindahkan dari lingkungan rumah dengan alasan agar tidak ada warga yang tertular.
Kawan saya ini tinggal di perumahan elit, yang tiap rumahnya berisi banyak kamar, berhalaman super luas, bahkan hampir setiap rumah ada kolam renangnya. Dengan rumah seluas itu, kawan saya merasa mampu untuk mengisolasi mandiri ARTnya di salah satu kamar miliknya tanpa ada kontak langsung dengan orang lain di rumah, apalagi dengan warga sekitar.
Namun Pak RT merasa dengan adanya warga yang terkonfirmasi covid di wilayahnya akan menjadi beban tersendiri bagi pengurus. Pak RT merasa akan lebih nyaman buat para pengurus dan warga lain jika semua warga yang terkonfirmasi positif langsung dipindahkan ke pusat karantina mandiri milik pemerintah.
Maka adu debat tak terelakkan. Melihat kondisi psikologis asisten rumah tangganya yang ketakutan padahal ia hanya OTG, maka kawan saya mempertahankan untuk si pembantu rumah tangga bisa tetap menjalani karantina secara mandiri. Toh kawan saya merasa mampu memberikan semua kebutuhan asisten rumah tangganya selama karantina tanpa harus membebani warga lain. Namun beberapa orang tetap merasa kurang nyaman tinggal di lokasi yang sama dan menghirup oksigen dari perumahan yang sama. Menurut mereka itu akan menjadi sumber penularan penyakit.
Ketika saya tanya, apakah dia mengenal tetangganya itu, kawan saya menjawab dengan ringan “aku tinggal di sini hampir 8 tahun, tapi aku tidak pernah tahu siapa nama tetangga sebelah rumahku.”
Akibat tidak adanya rasa saling mengenal, tidak pernah adanya kegiatan bersifat gotong royong membuat hubungan antar warga menjadi kurang toleran. Minimnya tenggang rasa inilah yang akhirnya mudah menimbulkan gesekan ketika ada konflik kepentingan.
Saya jadi ingat obrolan bersama suami tentang iklim startup di Indonesia. Di negara ini banyak sekali perusahaan rintisan yang tumbuh. Sangat banyak bahkan. Kualitas sumber daya manusia kita sangat mumpuni untuk bekerja di perusahaan rintisan. Skill para kaum muda kita tidak bisa diremehkan begitu saja. Namun mengapa dari begitu banyak perusahaan rintisan yang ada di Indonesia, sangat sedikit yang bisa berkembang dengan sehat?
Selain faktor suntikan modal yang jamak menjadi problem perusahaan rintisan, mungkin penyebab lainnya adalah minimnya iklim kolaborasi. Ipar saya yang seorang dosen pernah mengeluhkan tentang tugas kelompok yang diberikan kepada mahasiswanya hasilnya banyak yang tidak sesuai harapan. Mahasiswa sulit bekerja sama, hanya mengandalkan satu orang yang dirasa cakap dalam kelompoknya, membuat yang lain minim kontribusi. Terbukti saat presentasi tugas, mahasiswa yang lain banyak yang tidak menguasai materi presentasi.
Padahal kunci dalam pengembangan bisnis apapun adalah kolaborasi dan bekerja sama dengan orang lain. Bekerja sama itu berarti memberikan dan mempercayakan porsi kerja yang sama dengan yang lain. Sungguh ironis bukan, ketika budaya gotong royong yang biasanya kita agung-agungkan dalam setiap pelajaran PPKN ternyata kini tinggal sebatas simbol padi dan kapas di atas dada pancasila saja.
Di saat kebutuhan kolaborasi untuk bertahan dalam dunia kerja sangat tinggi, kenapa masih banyak orang tua yang menginginkan anaknya berlomba-lomba saling mengalahkan dalam meraih angka di atas kertas ujian? Kenapa masih banyak guru dan sekolah yang mensakralkan nilai angka fiktif di atas raport? Kenapa semua ujian-ujian itu tidak diubah menjadi project-project yang merangsang anak-anak untuk mengeksplorasi ilmu dan berkolaborasi dengan kawan-kawannya?
Di negara yang katanya memiliki warisan budaya gotong royong ini, mengapa kita justru kesulitan berkolaborasi? Benarkah gotong royong sudah mulai luntur dalam budaya kita?
No Comments :