Mewujudkan OYPMK Merdeka Dari Stigma dan Diskriminasi

Mewujudkan OYPMK Merdeka Dari Stigma dan Diskriminasi

Ketika mendengar kata “Kusta” apa yang terbersit di benak kalian? Apa yang kalian bayangkan ketika melihat seorang OYPMK atau orang yang pernah menderita kusta? Apakah kalian membayangkan stigma-stigma yang banyak beredar di masyarakat selama ini?

Begitulah yang dialami sebagian besar penderita kusta di tengah masyarakat. Meskipun sudah sembuh, mereka pun masih menyandang status seorang OYPMK, Orang Yang Pernah Menderita Kusta. Status dan stigma tersebut seolah melekat dan akan terbawa ke manapun.

Untuk membantu menggaungkan kesetaraan dan kemerdekaan bagi para OYPMK, Ruang Publik KBR bersama NLR menggelar talkshow rutin yang bisa dilihat di youtube channel KBR.id. Talkshow kemarin membahas tentang “Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?”. Menghadirkan Dr. Mimi Mariani Lusli dari Mimi Institute dan Marsinah Dhedhe, seorang aktivis, OYPMK dan penyandang disabilitas, membahas jatuh bangun para OYPMK dan disabilitas dalam mewujudkan kemerdekaan, merdeka dari stigma dan diskriminasi.

Mimi Institute sendiri yang sudah lahir sejak tahun 2009 yang memiliki visi untuk mengajak masyarakat membiasakan diri dengan kehadiran teman-teman disabilitas termasuk kehadiran teman-teman OYPMK dengan ragam-ragam interaksi sesuai dengan kondisi dan kemampuan. Tujuannya agar masyarakat paham bagaimana cara berinteraksi dengan kawan-kawan disabilitas dan OYPMK sehingga mereka tidak merasa terdiskriminasi atau tersisihkan.

Selain itu kegiatan-kegiatan dan kampanye yang diusung Mimi Institute tersebut membantu para penyandang disabilitas dan OYPMK untuk percaya diri dan mandiri dalam berkontribusi di masyarakat seperti yang lain. Karena memang sesungguhnya baik penyandang disabilitas maupun OPYMK memiliki hak yang sama dalam berkontribusi dan berkarya. Hal yang sama diamini juga oleh mbak Dhedhe seorang OYPMK.

Mbak Dhedhe sendiri pernah menderita kusta ketika masih usia sekolah dasar. Support dari keluarga sangat membantu mbak Dhedhe keluar dari lingkarang stigma yang pernah membelenggu. Mbak Dhedhe pun pernah menjadi bagian dari stigma dan ejekan dari kawan-kawannya dan masyarakat. Namun berkat dukungan keluarga, bahkan sekarang mbak Dhedhe sempat lupa kalau beliau seorang OYPMK.

Dukungan besar seperti yang diberikan keluarga mbak Dhedhe membantunya kembali ke masyarakat, berkiprah, berkontribusi dan berkarya tanpa merasa terdiskriminasi. Kemerdekaan berkarya terbukti mampu dirasakan oleh seorang disabilitas sekaligus OYPMK seperti Mbak Dhedhe. Selain dukungan keluarga, peran aktif pemerintah dan instansi BUMN maupun BUMS juga sangat berpengaruh.

Baik pemerintah, BUMN maupun instansi swasta bisa memberikan kesempatan yang sama besarnya kepada penyandang disabilitas dan OYPMK dalam memperoleh pekerjaan maupun ruang untuk berkarya. Instansi-instansi tersebut dapat memberikan sekian persen dari jumlah karyawannya ditempati oleh para disabilitas maupun OYPMK. Kesempatan yang setara dan ruang yang sejajar tersebut akan membantu penyandang disabilitas dan OYPMK kembali ke masyarakat. Dengan interaksi yang optimal, stigma yang ada di masyarakat pun diharapkan dapat berkurang. Maka kemerdekaan yang dicita-citakan para penyandang disabilitas dan OYPMK untuk kembali berkarya dan berkontribusi pun bukan lagi sebatas angan.

Bagi OYPMK maupun penyandang disabilitas yang masih mendapatkan diskriminasi dan menyandang stigma dari lingkungan sekitarnya, Dr. Mimi memberikan saran untuk membuka ruang komunikasi seluas-luasnya. Jangan pernah menyerah untuk membuka ruang komunikasi karena pada dasarnya masyarakat yang menempelkan stigma tersebut disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan ilmu tentang Kusta.

Dr. Mimi mengatakan “Kalau masyarakat menjauhi, yuk kita yang mendekati. Karena kalau masyarakat menjauh, dan kita menarik diri juga menjauh, maka akan semakin jauh…” Jadi jangan pernah menyerah untuk terus membuka ruang komunikasi. Ketika dijauhi, tidak perlu lantas menjadi minder dan menarik diri. OYPMK dan penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, jadi juga harus memperjuangkan hak tersebut.

Jika pemerintah mampu mengubah budaya dari tidak memakai masker sebelum pandemi menjadi budaya memakai masker ketika pandemi, maka jika diberikan informasi yang sama gencarnya tentang kusta, niscaya masyarakat pun akan banyak paham tentang kusta dan karakteristiknya. Kesadaran bahwa OYPMK dan penyandang disabilitas bukan untuk dijauhi akan menjadi budaya baru juga dimasyarakat.

Nah, kita sebagai bagian dari warga masyarakat, sudah selayaknya ambil bagian berperan aktif untuk turut memberikan kesempatan yang sama besarnya bagi para penyandang disabilitas dan OYPMK dalam memperoleh kemerdekaan berkarya. Mereka layak mendapatkan kemerdekaan berkontribusi sama besarnya dalam pembangunan masyarakat. Menjadi insan yang berdaya dan berkarya, sama seperti kita semua. Setuju?

Jenjang Karir Bagi Penyandang Disabilitas dan OYPMK

Jenjang Karir Bagi Penyandang Disabilitas dan OYPMK

Aku punya teman yang tiba-tiba mengalami kecelakaan dan menjadi disabilitas untuk seumur hidupnya. Dulu dia anak yang ceria dan cerdas. Setelah mengalami kecelakaan, penglihatannya banyak berkurang. Low vision, dokter menganalisanya demikian. Jarak pandangnya sangat jauh berkurang.

Kawanku harus menulis menggunakan spidol di buku tulisnya. Ia harus bergantung ke teman sebangkunya untuk bisa membaca tulisan guru di papan tulis. Ia mengalami itu ketika masih usia SD. Kami teman sekelas sejak SD hingga SMA. Ketika itu ia sempat khawatir, gimana nanti hidupnya, apakah ia akan terus bergantung sama orang lain, mampukah dia mandiri, mampukah dia bekerja seperti orang kebanyakan.

Kekhawatiran yang normal tentu saja. Stigma yang tertanam di masyarakat bahwa anak yang mengalami disabilitas itu tidak mampu mandiri, akan terus bergantung pada orang lain. Stigma itu sudah tertanam erat. Kalau ada penyandang disabilitas yang mampu melakukan banyak hal sendiri, selalu dianggap sebagai anak-anak spesial yang tidak semua mampu menjalaninya. Benarkah demikian?

Benarkah semua penyandang disabilitas tidak bisa mandiri? Stigma yang sama juga melekat erat pada OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta). Disabilitas dan OYPMK sering dianggap sebagai orang-orang yang merepotkan. Padahal ketika Tuhan mengambil salah satu kemampuan seseorang, Tuhan akan memberi kelebihan di kemampuan yang lainnya. Itu kalau kalian percaya Tuhan itu Maha Adil.

Stigma yang sama juga dialami seorang OYPMK berdaya bernama Mahdis Mustofa dari Makasar. Bapak Mahdis pernah menderita kusta dan sekarang sudah sembuh. Meski sudah sembuh, bukan berarti stigma berhenti menempel di kepala. Stigma itu terus terbawa bahkan hingga di tempat kerja.

Bapak Mahdis menceritakan beliau mulai bekerja di sebuah rumah sakit di Makassar di bagian cleaning service. Sebuah langkah yang patut diapresiasi untuk sebuah rumah sakit mau menerima OYPMK. Langkah ini ternyata tidak serta merta diikuti oleh staf-staf yang lain. Ketika itu masih banyak yang menolak atau sekedar enggan untuk dekat dengan Mas Mahdis. Bahkan beberapa staf melarang pak Mahdis masuk atau membersihkan ruangannya.

Mas Mahdis bertutur dengan ringan dipandu pembawa acara Rizal Wijaya di acara Ruang Publik KBR pada tanggal 27 Juli 2022 kemarin. Acara yang dibuat bekerja sama dengan NLR Indonesia ini sedianya menghadirkan bapak Agus Suprapto, DRG. M.Kes, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK RI. Namun sayang sekali di tengah acara Bapak Agus harus meninggalkan talkshow lebih cepat karena kesibukan dalam tugasnya. Semoga lain waktu bisa disambung lagi ya, Pak. Obrolannya cukup menarik.

Lebih lanjut Mas Madis menuturkan bahwa menghapus stigma itu bukanlah hal yang mudah. Namun demikian pemahaman masyarakat tentang penyakit Kusta harus terus ditingkatkan. Penderita Kusta yang sudah menjalani pengobatan sesuai petunjuk dokter dan berhasil, tidak akan menularkan penyakitnya. Jadi mereka bisa juga bekerja, beraktivitas dan bersosialisasi sebagai warga masyarakat pada umumnya.

Penderita kusta atau yang sudah berstatus OYPMK (orang yang pernah menderita kusta) bukanlah orang-orang yang kehilangan haknya sebagai masyarakat. Hak sebagai masyarakat tetap melekat dan ada, termasuk hak untuk hidup dan mencari pekerjaan. Karena itu masyarakat dan seluruh stakeholder dapat memberikan kesempatan yang sama lebarnya.

Mas Mahdis yang menyandang status OYPMK juga memiliki kesempatan untuk berkarir dan memiliki jenjang. Kini di perusahaan layanan cleaning service tempatnya bekerja, beliau dipercaya menjadi seorang supervisor. Sebagai supervisor, Mas Mahdis membawahi dua divisi, yaitu divisi luar dan divisi dalam. Divisi luar adalah petugas cleaning service yang bertugas menjaga kebersihan taman di lingkungan rumah sakit, divisi dalam adalah petugas-petugas yang menjaga kebersihan di lingkungan dalam rumah sakit.

Jangan heran jika 80-90% petugas yang bekerja di bawah supervisi mas Mahdis adalah para OYPMK. Mereka pun bisa memiliki kesempatang yang sama lebarnya seperti mas Mahdis. Penghasilan yang diperoleh mas Mahdis juga terbilang lumayan untuk nafkah anak dan istrinya.

Mas Mahdis mengakui bahwa OYPMK pada awal pengobatan mengalami kendala dan keterbatasan fisik. Namun ketika pulih mereka bisa beraktivitas seperti semula. Stigma yang dianggap bahwa OYPMK biasanya memiliki pendidikan rendah memang belum bisa dihilangkan begitu saja. Namun jika diberi kesempatan dan ruang yang sama luasnya, mereka pun bisa berkarya sama hebatnya.

Kendala yang masih sering dialami oleh para penderita kusta dan OYPMK adalah akses menuju tempat kesehatan dan ruang kesempatan yang lebar untuk berkarya. Stigma masyarakat yang menempel erat masih menjadi PR besar bagi pemerintah dalam meningkatkan literasi dan pemahamannya. Semoga kesempatan yang sama lebarnya bisa terus dapat diberikan kepada kawan-kawan OYPMK dan penyandang disabilitas di daerah lain