Mencari Pesona Tersembunyi
MENCARI PESONA TERSEMBUNYI – Siang itu seperti biasa aku kayuh sepedaku menjemput dua bocah kembarku pulang dari sekolah. Namun ketika sampai di depan pintu gerbang, Kara, salah satu bocah kembarku menanti dengan wajah masam. Sepertinya ia sedang kesal. Begitu melihatku turun dari sepeda, segera ia berlari dan memelukku sambil menumpahkan kekesalannya. Sejenak kupeluk dan kuredakan tangisnya, lalu aku minta ia segera naik ke sepeda. Sepanjang jalan Kara tersedu-sedu diatas boncengan. Meski Kira berusaha menghibur, namun isaknya tak reda juga.
Sesampai di rumah, aku tanya dengan lebih detail apa yang dialaminya di sekolah. Rupanya ia habis diejek temannya. Punya badan lebih mungil dari yang lainnya, dan bertipe introvert, tak mudah bagi Kara berteman dengan semua anak. Ia akan memilih teman yang bisa membuatnya nyaman dan merasa diterima. Karena itu di tahun pertamanya sekolah, di saat belum banyak teman ia kenal, ia merasa sendiri dan mudah sekali tersinggung.
Apa yang dialami Kara hari itu, membawa ingatanku kembali ketika aku masih seusianya. Hal yang sama juga sering aku alami. Punya badan paling kecil, berkulit dekil, rambut panjang berombak, membuatku terlihat seperti bocah cupu. Ditambah lagi baju yang jarang terseterika rapi, makin membuat penampilanku seperti anak yang tak terurus. Aku minder dan sering menjadi sasaran ejekan teman-teman yang lain. Namun aku tidak seperti Kara yang bisa dengan mudah mengadu dan menangis. Perjuangan ibuku saat itu jauh lebih berat sehingga tanpa sadar mendidikku untuk menyelesaikan masalahku sendiri.
Masuk sekolah dasar beberapa kali aku mengalami hal serupa. Aku tak ingin terus menjadi bocah cupu. Aku ingin menjadi sesuatu. Diantara teman-temanku, boleh dibilang otakku lumayan encer. Ketika anak lain belum lancar membaca, Bapak sudah menjejaliku dengan Koran bungkus nasi untuk latihan membaca. Ketika teman-temanku masih sibuk mengeja “ini budi”, aku sudah lancar membaca cerpen di majalah anak-anak. Maka tak heran, selanjutnya nilai-nilai di raporku pun melesat meninggalkan teman-temanku. Aku mulai punya banyak teman. Aku lebih percaya diri. Meski masih selalu ada teman yang menggangguku, namun kini aku punya orang yang bisa membantuku.
Melihat ibuku yang tak pernah berhenti mengerjakan pekerjaan rumah, aku mulai belajar membantu. Sejak SD aku sudah membantu mencuci dan menyetrika baju ketiga adikku. Kami bukan dari keluarga berada. Uang sakuku selalu hanya cukup untuk membeli sarapan pagi. Namun karena keenceran otakku, aku langganan menerima beasiswa. Tak pupus orangtuaku membanggakan prestasiku. Sejak itu mereka bisa bekerja dengan lebih bersemangat.
Aku ceritakan pada Kara dan Kira apa yang aku alami di masa kecilku. Perjuanganku ketika itu jauh lebih berat. Aku harus membantu ketiga adikku yang salah satunya berkebutuhan khusus dan belum bisa berjalan. Tapi aku tak menyerah pada mereka yang mencibirku. Aku mencari pesona yang terkubur dalam diriku. Dan aku mampu melesat menjadi cahaya bagi orang disekitarku. Aku punya sesuatu yang tak dimiliki teman-temanku. Karena aku ingat ketika itu guruku pernah berkata “Semua manusia tak ada yang sama”.
#MemesonaItu
Berapa banyak diantara kita yang masih bisa bersyukur di tengah banyak himpitan kesulitan? Selesai terima gaji mudah bagi banyak orang berucap Hamdalah atau Puji Tuhan. Tapi apakah masih bisa berucap kata yang sama ketika tiba-tiba amplop gaji raib dalam perjalanan pulang kantor? Bersyukur untuk semua rejeki yang kita dapat itu mudah. Namun bersyukur di antara banyak kesulitan yang kita temui itu tak semua orang bisa melakukannya. Memesona itu ketika kita tetap dapat menari di bawah hujan atau di tengah terik matahari. Memesona itu ketika kita tetap dapat bersyukur dengan semua yang ada di depan mata.
Ibuku pernah berkata, menjadi pintar itu mudah. Namun menjadi orang yang mau mengerti itu tak semua bisa melakukannya. Mengerti bukan hanya sekedar paham tentang situasi. Namun mengerti juga tentang rasa syukur yang seharusnya terus bisa terucap dalam situasi apapun, karena kita mengerti bahwa Tuhan punya segala rencana di balik setiap kejadian. Dari sosok perempuan desa yang tak lulus sekolah dasar inilah aku belajar tentang menjadi sosok yang memesona. Sosok yang bisa tetap bersyukur dan bahagia di tengah himpitan keras hidupnya.
“Life is all about dancing in the rain”
Bukankah semua orang pasti mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya? Tuhan memberikan rintangan dan ujian untuk kita lewati, semata untuk menempa diri kita menjadi sosok yang lebih baik, lebih kuat dan lebih tangguh. Semua mahluk hidup pasti memiliki kesulitan yang berbeda-beda. Bahkan seekor Rusa belajar untuk terus waspada agar tak menjadi mangsa empuk Singa. Seekor Kelinci dianugerahi kegesitan untuk ia dapat lolos dari ancaman predator. Demikian juga manusia. Tuhan menganugerahkan kita banyak hal untuk melewati kesulitan dan menjadi yang terbaik dari diri kita.
Namun, banyak diantara kita yang masih belum menyadari bahwa semua mahluk hidup dianugerahi kelebihannya masing-masing. Banyak orang lebih fokus pada penyesalan atas kemalangan yang menimpa dirinya, dibandingkan mencoba berpikir tentang hikmah dibaliknya. Hidup bukan hanya tentang keberhasilan melewati satu kemalangan atau kesulitan, tapi bagaimana kita bisa menikmati kesulitan-kesulitan tersebut sebagai sebuah proses untuk menempa diri. Kesulitan-kesulitan itulah yang membuat kita belajar mencari pesona yang tersembunyi. Bukankah sudah selayaknya kita bersyukur untuk hal itu?
Seperti diriku, Kira dan Kara pun berproses ditengah kesulitan yang mereka hadapi. Mereka mencari apa yang dimilikinya, dan apa yang menjadi potensi dalam dirinya. Hingga suatu hari aku mendapati senyumnya terkembang dan berucap kalau ia kini berteman dengan anak yang kemarin mengejeknya. Bagaimana bisa? Jadi suatu hari ia meminta membawa jatah kue untuk bekal sekolah lebih banyak dari biasanya. Ternyata kue-kue itu dibagikan ke beberapa temannya, termasuk teman yang mengejeknya. Ia belajar untuk tidak membeda-bedakan dan mengasihi semua. Dan dari sepotong kue itu, anak yang semula mengejeknya menjadi punya topik untuk dibicarakan bersama Kara. Dari obrolan itulah akhirnya mereka bisa berteman. Cerdas bukan?
Itulah yang dimaksud dengan “menari dibawah hujan”. Menikmati setiap rintangan sebagai sebuah proses untuk menempa diri.. Mencari potensi apa yang ada di dalam diri kita untuk bisa terus melesat maju. Lalu bersyukur di tengah kesulitan dan belajar mencari hikmah dibaliknya. Maka ketika proses terlewati dengan sempurna, disanalah akan didapati sosok memesona. Sosok yang tetap bersinar dan menari di tengah hujan. Ia yang bersinar akan menjadi inspirasi bagi yang lain. Karenanya menjadi memesona itu seperti menjadi cahaya diantara jalan yang gelap.
Dari pelajaran hidup aku belajar, tampil memesona itu bukan dengan mengenakan pakaian berharga jutaan rupiah, atau memakai dandanan tebal. Tampil memesona itu dengan bersyukur dan menjadi cahaya bagi yang lain. Bentuk syukur atas pakaian yang kita miliki adalah dengan merawat dan memeliharanya. Bentuk syukur atas tubuh adalah dengan menjaga kesehatannya. Mau punya kulit hitam, coklat, putih, gelap atau terang kalau kusut dan dekil tentu tidak akan memesona. Karena itu rawatlah apapun yang kamu sebagai bentuk rasa syukurmu pada Tuhan Sang Maha Pencipta. Lalu jadilah cahaya dan bermanfaat bagi yang lain. Dengan semua itu, kamu dapat tampil memesona!
Artikel ini ditulis untuk diikutkan dalam lomba #MemesonaItu
No Comments :