
Minggu lalu Kira dan Kara membawa pulang formulir dari sekolah yang isinya tentang laporan daftar buku untuk tantangan membaca. Rupanya sekolah mengadakan program tantangan membaca untuk seluruh muridnya. Tantangan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan cinta literasi di kalangan anak sekoah dasar. Program yang bagus nih!
Baca Juga: Ketika Si Kembar Masuk SD
Tapi ternyata setelah melewati satu minggu dari tantangan tersebut, saya dibuat mules dengan kenyataan-kenyataan yang saya dapati diantara para wali murid. Sebelum curhat tentang para wali murid yang bikin mules tersebut, saya mau curhat tentang perjalanan belajar membaca Kira dan Kara dulu boleh yaaa..
Kira dan Kara sudah akrab dengan buku sejak masih dalam kandungan. Saya senang membaca buku. Bahkan saat mereka dirawat di inkubator, saya rutin membacakan cerita. Mendengar atau tidak, tahu atau tidak, saya tidak peduli. Saya hanya ingin memberikan hal baik untuk mereka. Daripada mengeluh atau menangis di depan tabung inkubator, saya memilih membacakan cerita-cerita yang penuh semangat dan ceria khas anak-anak.
Pada perjalanan waktu, saya pernah membaca entah di artikel mana bahwa mengajarkan membaca pada anak-anak itu bisa dimulai sejak dini. Belajar membaca itu dimulai dengan membacakan buku sejak bayi. Kebiasaan ini bermanfaat untuk menumbuhkan rasa senang membaca dan cinta buku. Konon katanya anak yang biasa dibacakan buku sejak dini akan lebih cepat membaca dan lebih mudah memahami tulisan ketika ia sekolah nanti.
Namun apa kenyataan yang saya dapat di lapangan?
Diantara teman-teman sekelasnya, Kira dan Kara tergolong lambat dalam membaca kalimat. Meski mereka sudah hafal dan mengenal huruf sejak usia 4 tahun, namun entah mengapa ketika memasuki fase belajar membaca sepertinya sangat lambaaat sekali mereka menguasai kata. Menulis dan membaca huruf b dan d sering sekali terbalik hingga sekarang. Saya sempat merasa sedih.
Saya sempat membombardir mereka dengan memaksa belajar membaca dan membelikan segambreng buku tentang belajar membaca. Bukannya senang, mereka malah uring-uringan. Saya merasa mereka susah sekali fokus dalam mengeja kata. Segala macam metode “cara membaca cepat” saya praktekan, namun hasilnya nihil. Kesalahan bukan pada metodenya. Karena panik saya tidak pernah fokus menjalankan satu metode. Tentu saja hasilnya juga amburadul. Akhirnya saya pasrah mengikuti aliran dan pola yang ada.
Baca Juga: Belajar Bahasa Inggris Sejak Dini, Demi Gengsi atau Kebutuhan?
Tuntutan kurikulum saat ini memang berat. Tapi memaksa mereka melakukan sesuatu tentu hasilnya tak pernah maksimal. Bahkan saya harus menabahkan diri ketika wali kelasnya berkali-kali memberi catatan pada saya tentang pelajaran menulis dan membaca dua bocah kunyil itu. Beruntung sekali sekolah membuat program tantangan membaca ini. Program ini membuka mata saya tentang jalur yang telah kami pilih.
Cerita itu berawal ketika ada seorang orang tua murid yang datang ke rumah saya menanyakan tentang tantangan membaca tersebut. Ia bercerita kalau kesulitan mencari bahan bacaan untuk anaknya karena di rumahnya tak banyak buku yang bisa dibaca. Kondisi ekonomi yang sulit tak bisa membuatnya dengan leluasa membelikan buku untuk si bocah. Lantas saya menawarkan untuk membaca buku di rumah bersama Kira dan Kara sepulang sekolah.
Apakah masalah selesai? Ternyata tidak.
Ketika Kira dan Kara mulai sibuk memilih buku, si bocah juga nampak antusias membuka-buka buku. Namun ternyata tak bertahan lama. 5 menit kemudian, ia nampak terlihat bosan. Baru dua halaman dibuka, ia sudah berpindah ke buku yang lainnya. Hingga Kira dan Kara menyelesaikan satu buku, tak satu bukupun ia selesaikan dengan tuntas. Ketika saya tanya apakah ada buku yang ia suka? Ia menjawab capek dan tak suka membaca. Lantas ketika saya minta ia membaca 2 kalimat, ternyata sebenarnya cara membacanya jauuuuh lebih lancar dibandingkan Kira dan Kara. Bahkan untuk buku yang ceritanya terbilang sangat sederhana untuk Kira dan Kara, tak mampu ia lahap. Padahal jika ia mau dan suka, buku yang hanya berisi beberapa halaman itu akan mampu ia selesaikan hanya dalam waktu 5 menit saja. Toh buku itu hanya berisi satu hingga dua kalimat sederhana dalam tiap halamannya.
Saya terpana ketika si ibu mengambil alih tugasnya dengan membaca sendiri dan menuliskan isi laporan tantangan membaca tersebut. Saya kecewa. Saya sedih. Saya merasa menyediakan diri untuk memanipulasi laporan siswa. Saya tidak suka cara itu. Mungkin saya saklek dan kaku, tapi saya tidak suka anak-anak melihat hal yang tidak jujur berlangsung di depan matanya. Kalau sejak kecil memanipulasi laporan membaca, nanti besar ia bisa memanipulasi laporan keuangan. Kan gawat!
Dari kejadian itu saya melihat bahwa rasa senang membaca dan senang mendengar cerita itu memang perlu ditanamkan sejak dini. Keterbatasan ekonomi seharusnya tak menjadi penghalang. Surabaya sudah memiliki perpustakaan daerah tempat kita bisa meminjam buku. Semoga kita tak pernah merasa lelah untuk membacakan anak-anak buku. Agar mereka tumbuh menjadi generasi yang cerdas literasi.



