Sepenggal Kisah Menjelang Perjalanan Tidur Panjangnya
Hari itu tanggal 7 Februari sekitar jam 8 malam aku memberinya kabar,
“Mas, kayaknya aku gak bisa pulang besok. Ibuk lambungnya pendarahan lagi.”
Ketika melontarkan kalimat itu, aku bersiap untuk diomeli. Hal yang biasa Ia lakukan, bahwa aku melupakan ngopeni diriku sendiri, lupa ngopeni anak-anak, dan lain-lain.
Tak disangka ia hanya menjawab singkat “iya, gpp”.
Aku lega. Lalu aku lanjut menanyakan kabar anak-anak, dan kami bercerita tentang anak-anak hari itu. Ia bercerita bagaimana anak-anaknya nekat pulang naik sepeda bersama teman-temannya selepas kerja kelompok. Aku lupa menanyakan kabarnya.
8 Februari jam 00.55 wib aku terbangun dengan perasaan kaget karena lupa mengambil ponselku yang tadi masih mengisi daya di ruang tunggu pasien rumah sakit. Bergegas aku keluar dari ruang perawatan ibuk, dan mengambil ponsel yang ada di ruang tunggu.
Tiga menit aku membaca segala macam pesan yang masuk, tiba-tiba ada pesan baru dari anakku. Saat itu jam 01.01 “Bund, ayah sakit. Uti panik.”
Perasaan kaget, was-was, dan khawatir campur aduk menjadi satu. Bergegas aku telpon anakku menanyakan apa yang terjadi.
Dengan lugas anakku menjelaskan situasi yang ia lihat dan rasakan. Merasa aku bisa menduga apa yang sedang terjadi, aku memberikan instruksi untuk Mama dan anakku melalui telepon.
“Jangan tunggu apa-apa, bangunin tetangga, bawa ke rumah sakit sekarang. Adik cari kartu BPJS ayah di dompet. Dompet ayah ada di… Bla… Bla…”
Dari situasi yang digambarkan anakku, aku menduga suamiku mendapat serangan stroke pertama. Lekas aku telpon sepupunya yang kemungkinan masih bekerja larut dan rumahnya dekat. Aku hubungi juga kawannya yang bisa membantu mama mengurus proses masuk UGD, karena aku tahu pasti mama sedang panik.
Jam tiga dini hari, sepupu yang menunggu di rumah sakit mengabarkan suamiku sudah di UGD, kondisinya tidak sadarkan diri dan kemungkinan yang terjadi bukan penyumbatan melainkan pecah pembuluh darah di otak dan membutuhkan rujukan ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Lekas aku telepon adiknya di Bandung dan tante yang bisa membantu kami memasukkan Mas Vino ke rumah sakit dengan prioritas penanganan yang lebih baik.
Saat ponselku tak berhenti berdering itu aku sudah berada di bus malam yang riuh dengan lagu dangdut koplo yang kencang. Suara penjelasan dokter di ponsel bersahutan, timbul tenggelam dengan suara musik yang hingar bingar. Dokter menjelaskan saat itu suamiku dalam kondisi koma dan pembuluh darah yang pecah sangat banyak. Namun begitu untuk kepastian, dokter masih menunggu hasil CT scan keluar.
Jam 05.58 wib aku sudah mendarat di UGD rumah sakit dan berbincang dengan dokter tentang hasil CT scan. Bahwa suamiku harus segera dilakukan operasi bedah otak di rumah sakit rujukan yang lebih lengkap, bahwa kondisinya saat itu sangat buruk dan kemungkinan sangat kecil untuk pulih meskipun sudah dilakukan operasi dan bla bla lainnya yang aku cerna dengan otakku sesegera mungkin untuk bisa kuambil keputusan.
Aku memutuskan ia harus dioperasi, ia harus mendapat penangan terbaik, aku memperjuangan segala hak hidupnya dan membawanya ke rumah sakit dengan fasilitas penanganan trauma otak dan pasca trauma terbaik di kota. Dengan bantuan banyak pihak, jam 08.00 pagi aku sudah berada di RS berbeda dan berkonsultasi dengan dokter spesialis menjelang persiapan operasi.
Proses pemindahan ke rumah sakit sempat terkendala karena lagi-lagi terjadi pendarahan hebat dan harus ditangani selekasnya. Dokter memberikan keterangan bahwa dalam masa pemindahan bisa saja terjadi hal-hal darurat di jalan dan mengancam keselamatan suamiku. Aku pasrah, sepanjang jalan aku berdoa masih diberi kesempatan untuk bersamanya merawat anak-anak. Air mata dan doaku berkejaran dengan suara raungan sirine ambulan di sepanjang perjalanan.
Jam 11.00 suamiku memasuki ruang operasi dalam kondisi koma. Aku pegang tangannya erat di sepanjang lorong menuju kamar operasi sambil melantunkan banyak doa dan harapan, meski nuraniku yang lain menentang karena aku sudah melawan pesan suami. Suamiku pernah berkata jika dia dalam kondisi kritis dengan kemungkinan sangat kecil untuk pulih, ia melarangku melakukan tindakan apapun yang membuat aku dan anak-anaknya sangat repot.
Aku mengabaikan pesan itu. Aku hanya mau dia ada dengan segala cerita-ceritanya dan perhatiannya, dalam kondisi apapun. Aku membutuhkannya.
Pukul 16.00 wib operasi selesai, dan suamiku dipindahkan ke ruang ICU untuk proses observasi. Kondisinya masih koma. Wajahnya nampak lebih tenang seperti tertidur. Hanya saja ada pipa putih lentur besar yang masuk ke tenggorokannya dengan banyak kabel dan selang di tubuhnya. Melihatnya dalam kondisi seperti itu batinku menjerit, menggugatnya untuk segala mimpi yang pernah ia katakan sebelumnya. Aku sangat ingin dia bangun.
Dua hari menjaganya di luar ruang ICU, aku tidak pernah tidur nyenyak. Kondisiku mendadak sangat lelah. Kelelahan yang berbeda dibandingkan dengan 8 hari menjaga ibuk di rumah sakit di Madiun. Aku ingin pulang memeluk anak-anakku. Setiap pagi dokter rutin memberikan update kondisi suamiku, dan mengizinkan aku menengoknya. Kondisinya sempat meningkat. Score GCSnya antara 4-5. Aku bisa memegang tangannya, kuajak ngobrol, kucium pipinya sambil berusaha tidak menyenggol segala peralatan yang ada di sekelilingnya.
Kondisinya masih koma. Suhu tubuhnya tinggi, menunjukkan ia berusaha berjuang melawan segala komplikasi paska operasi. Saat kuajak ngobrol, pupil matanya bergerak meski terpejam. Seperti berusaha membuka mata, tapi tak mampu.
Satu per satu kawannya datang menemuiku. Malam hari, tanggal 10 Februari 2023, jam 10.30an aku merasa sangat lelah, dan sangat ingin tidur nyenyak. Malam itu aku tertidur. Sangat nyenyak. Sampai sekitar pukul 01.20an ponselku berdering. Suster mencariku. Aku ditegur karena dipanggil berkali-kali tidak ada sahutan. Suster mengira aku pulang. Ternyata aku tertidur sangat nyenyak hingga tak mendengar suara panggilan.
Aku dipanggil ke ruang dokter, dan dokter memberi tahu kondisi suamiku kritis, denyut jantungnya terus melemah. Beberapa tindakan darurat sudah dilakukan. Ia memintaku melihat kondisi suamiku dan berharap suaraku dapat memacu detak jantungnya. Aku bisikkan banyak kata, hingga akhirnya aku memilih bisikan talqin di telinganya.
10 menit menemaninya berdiri di sisi ranjangnya kakiku lemas. Meski tidak menangis, tubuhku tidak bisa bohong. Aku tidak kuat berdiri. Suster memberiku kursi. Aku telpon adiknya memberitahu kondisi terakhirnya. Aku berusaha berdiri lagi untuk menjangkau telinganya. Kembali kubisikkan kalimat-kalimat talqin di telinganya, berharap ia mendengarnya dan menirukannya dalam hati. Hingga akhirnya bunyi mesin meraung panjang, dengan grafik datar terlihat di layar. Kakiku tidak lagi mampu menopang tubuhku. Badanku lemas. Aku tahu ini saatnya aku merelakannya. Aku menolak tindakan emergency terakhir yang akan dilakukan. Tak lama kemudian dokter meminta izin melepas semua peralatan yang ada di tubuhnya agar aku leluasa mendekat.
Tenagaku habis. Bahkan untuk menangis pun aku tak sanggup. Aku ingat janjiku akan pulang hari sabtu. Aku memang pulang hari Sabtu, bertemu anak-anakku, tapi dengan membawa jenasah ayahnya bersamaku. Mengingat itu, tangisku pecah di jalan. Kuhabiskan air mataku di jalan, agar ketika di rumah, air mataku tak banyak tumpah. Agar aku bisa fokus mengurus segala proses pemakaman dan menemani anak-anaknya.
Semua proses pemakanan berjalan lancar, lebih cepat dari perkiraan. Bahkan anak-anak sanggup ikut memandikan jenasah ayahnya untuk terakhir kalinya dan ikut sholat jenazah. Kawan-kawannya sangaaaat banyak. Mulai dari yang pernah aku kenal, hingga yang tidak pernah aku tahu sama sekali. Terkadang aku termangu. Bahkan di saat dia tidak ada pun, perhatiannya tidak pernah berhenti mengalir untukku dan anak-anaknya lewat kawan-kawannya.
Setiap mendengar kata-kata “ayahmu kawan yang baik…” Dari teman-temannya, anakku berusaha tersenyum di antara air matanya.
Mas Vino mungkin sudah tiada. Namun yang jelas kami tahu, segala kebaikan yang pernah ia tanam, kini menjadi hasil yang bisa dituai anak-anaknya. Merasakan segala perhatian dan kebaikan yang diberikan oleh semua teman-temannya. Bahkan saat pengajian, selalu ada saja temannya yang datang.
Aku mendengar ia bersuara lirih kepadaku untuk kalian semua, terima kasih
Al Fatihah Mas Vino
Terima kasih sudah jadi suami temanku yang baik
Maafkan karena baru bisa muncul ketika jasadmu sudah disatukan dengan bumi.
Mbak Wiwid, kuat ya…
Mbak Wid…
Ceritanya mirip dg kejadian alm papa. Merinding kubaca ceritamu ini. Mbak wid msh bs di sblh alm suami,kami terpisah krn alm papa jg divonis covid jd cm bs talqin via videocall smp dinyatakan meninggal dunia.
Al Fartihah utk rahimahulloh…
Untuk mba Wiwid dan keluarga, semoga Allah Swt selalu melindungi kalian sekeluarga, aamiin ya Allah *peluk erat*
Alfatihah untuk Alm. Suami MB Wiwid. Semoga MB Wiwid selalu dikuatkan dan dimampukan menjaga anak-anak. Sehat selalu, mbak.
Alfatihah untuk suami mba Wiwid, mas Vino. Semoga Allah selalu menjaga mba Wiwid dan anak anak. Peluk jauh mba :'(
Al fatihan untuk mas Vino.. Semoga mbk Wiwid dan anak anak selalu dalam lindungan Allah Swt, aamiin
Sehat selalu ya mbk Wied
Al-Fatihah untuk Mas Vino. Semoga Allah tempatkan di sisi terbaikNya. Peluk jauh Mbak Wid..
Semoga husnul khotimah suaminya Mba Wiwid… Mba Wiwid, anak-anak & keluarga semoga diberikan banyak kekuatan & kesabaran. Aamiin.
Iya… Benar.. Dia teman yang baik, bukan buat ku tapi buat semua…
Tetap semangat ya…