Sak Madyo wae!
Urip iku sak madyo wae!
Begitu kata Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus yang terngiang di telinga saya. Hidup itu sewajarnya saja, kurang lebih seperti itu artinya. Dalam tausyiahnya lebih lanjut Gus Mus menuturkan kalau Nabi Muhammad SAW itu memiliki gaya hidup yang sederhana. Cara berpakaian beliau pun juga sederhana seperti kebanyakan penduduk sekitar. Tidak menonjol atau mencolok, apalagi berlebih-lebihan. Nasihat tersebut melemparkan saya ke ingatan masa lalu.
Hari itu saya resmi resign dari kantor lama dan pulang membawa rupiah yang lebih banyak dari biasanya. Saya ingin membeli sepeda yang ada keranjangnya di depan. Sepeda yang ada keranjangnya sudah menjadi impian saya sejak lama. Saya ingin bisa kemana-mana mengantar Kira dan Kara naik sepeda, entah itu ke sekolah, ke pasar, atau melakukan aktivitas saya sehari-hari yang harus kesana kemari. Pergilah saya ke toko sepeda diantar suami dan anak-anak. Pilihan pun jatuh ke sepeda warna pink dengan keranjang cantik di depan.
Ketika memilih sepeda tersebut, sempat terbersit di dalam hati “ah sepeda ini terlalu mencolok..”. Sepeda yang semi-sport dengan penampilan yang aduhai ini memang terlihat lebih elegan dibandingkan sepeda bermerk lain yang banyak beredar di sekitar komplek perumahan kami. Karena harganya yang juga tak bisa dibilang murah, maka kemana-mana saya selalu was-was dan harus mengunci rodanya jika saya tinggalkan di tempat parkir. Masuk ke swalayan pun saya harus sesekali melirik keluar demi memantau sepeda tersebut.
Mengendarai sepeda ini keliling perumahan ada rasa minder terbersit di benak saya. Saya merasa sepeda ini terlalu anggun untuk dibawa berkeliling. Bak seorang putri, lenggak lenggoknya selalu mencuri perhatian orang sekitar. Tak jarang saya disapa tetangga hanya untuk berujar, “sepedanya baru ya mbak…”. Saya yang tidak terbiasa menjadi pusat perhatian tentu saja sempat terbersit rasa minder mengendarai sepeda cantik tersebut.
Namun semua perasaan itu tertutupi oleh rasa senang karena memiliki sepeda yang selama ini saya impikan. Saya menyukai bentuk keranjangnya, saya menyukai bentuknya yang sedikit sporty namun tetap anggun dan cantik. Dan ternyata Allah pun punya rencana berbeda terhadap sepeda tersebut..
Akibat keteledoran saya, sepeda itu hilang dicuri.
Umurnya di rumah kami tak lebih dari 1 bulan saja. Seperti dugaan saya, ternyata penampilan sepeda tersebut terlalu menyilaukan dan menarik banyak perhatian. Dengan merk yang dimilikinya tentu jika dijual di pasar gelap akan laku dengan harga yang lumayan tinggi. Aaaah… saya memang belum berjodoh dengan sepeda tersebut.
Mungkin benar kata Gus Mus, hidup itu memang lebih baik sewajarnya saja. Tak perlu berlebih-lebihan.
Melihat saya sedih kehilangan sepeda dan harus kemana-mana jalan kaki, papa mertua saya berbaik hati membelikan sepeda baru. Kali ini sepeda dengan merk yang biasa saja, seperti merk sepeda milik tetangga sekitar saya. Sepeda warna biru, warna favorite saya, kali ini tidak terlihat mencolok. Terlihat sangat biasa, seperti milik orang kebanyakan di sekitar rumah saya. Tidak ada yang istimewa dengan sepeda biru ini. Tapi justru itulah yang membawa kedamaian.
Dengan sepeda biru ini, saya tenang meninggalkannya di tempat parkir. Saya tak terlalu cemas ketika harus ke swalayan dan meninggalkannya antri di kasir agak lama. Saya lebih tenang mengendarainya keliling kompleks perumahan atau mengantarkan Kira dan Kara ke sekolah. Beberapa kali juga saya lupa memasukkan ke dalam rumah, sepeda itu masih tetap nangkring cantik di halaman. Sepeda ini memang tidak banyak mencuri perhatian orang. Tapi disitulah rasa tenang dan damai kami dapatkan. 2 tahun lebih sepeda biru ini menemani kami beraktivitas. Jika ada yang rusak, mengganti onderdilnya pun tak pernah lebih dari 20 ribu rupiah. Tak pernah memberatkan kantong.
Dan Allah pun masih sangat berbaik hati dengan kami.
Di peringatan tahun baru Hijriyah kemarin, di acara jalan sehat yang diadakan remaja masjid, kami mendapat “teman” baru lagi. Nama kami dipanggil mendapat hadiah undian utama berupa sepeda gunung. Alhamdulillah…
Dan lagi-lagi sepeda ini berwarna biru. Penampilannya biasa saja. Tidak mencolok seperti sepeda gunung yang harganya 2-3 kali lipatnya. Namun sepeda ini seolah berjodoh dengan sepeda keranjang warna biru. Mereka pun terparkir berdampingan di rumah kami.
Begitulah kawan. Hidup ini memang terkadang terasa damai dan lebih tenang ketika kita tidak terlihat mencolok, biasa-biasa saja. Namun sialnya, ketika keadaan berbaik hati dengan memberikan kita materi berlimpah, membuatnya untuk tetap sederhana dan tidak mencolok itu ternyata tidak mudah. Silaunya penampilan yang mengundang decak kagum itu lebih menggoda iman. Siapa sih yang tidak ingin dipuji orang lain?! Padahal pujian itu seperti silent killer yang siap menusuk kita dari arah mana saja, diam-diam. Terlena pujian membuat kita lupa untuk belajar dan melangkah maju. Tanpa sadar ternyata kita hanya jalan di tempat sementara orang lain sudah melesat jauh ke depan. Percayalah, jika Gusti Allah berkehendak untuk memunculkan kita, maka takdir akan membawa kita terlihat di permukaan, tanpa perlu kita menonjolkan diri dan bergaya berlebih-lebihan.
Tetaplah hidup “sak madyo wae“. Sewajarnya saja. Tidak berlebih-lebihan. Hidup sederhana, seperti kata Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Semoga kita tak pernah lelah untuk terus belajar…
Salam sehat dan salam gowes 🙂
Kalau sudah lancar gowesnya, jangan lupa pakai helm bu 🙂