Memahami Generasi Milenial
Suatu hari Kira dan Kara pulang sekolah mengadu. Temannya melarang mereka makan permen Y, karena katanya ada kandungan minyak Babinya. Tak terima, Kira dan Kara memaksa saya untuk melihatnya di Google. Karena permen Y adalah salah satu jajanan favoritenya. Sebenarnya bisa saja saya mengiyakan apa yang dibilang temannya. Toh selama ini saya sudah cukup jengah melihat mereka mulai gemar makan permen. Namun ternyata, mereka jauh lebih kritis dari yang saya kira. Dengan sigap diambilnya tablet, dan dibukanya aplikasi mesin pencari. Begitulah generasi masa kini.
Generasi jaman Kira dan Kara ini sering disebut Generasi Milenial. Generasi milenial atau generasi yang tumbuh di millennium baru, adalah generasi yang lahir di tahun 2000 ke atas. Ada juga yang memberikan nama mereka adalah Gen-Z. Generasi ini tumbuh di tengah-tengah perkembangan pesat teknologi dan derasnya arus informasi.
Tantangan mendidik anak generasi milenial tentu berbeda dengan mendidik anak-anak generasi sebelumnya. Teknologi di tangan anak zaman sekarang adalah mainan sehari-hari. Istilah-istilah keren yang mungkin asing di telinga kita, sudah akrab di telinga mereka. Mencari informasi hanya cukup menjentikkan jari diantara jajaran keyboard, maka seluruh informasi yang dibutuhkan tersedia di depan mata.
Kira dan Kara adalah anak-anak generasi milenial. Youtube dan Google adalah mainan mereka sehari-hari. Ketika ada pertanyaan yang mentok dan tidak bisa dijawab bundanya, mereka sudah bisa berinisiatif mencarinya di google. Ketika mendapat tugas sekolah tentang pergerakan matahari, mereka bisa mencari ilustrasi ilmiahnya di youtube sesuai kata kunci yang mereka pilih sendiri. Tablet, laptop sudah akrab di tangan mereka. Meski semua masih berstatus milik bunda atau ayah, namun lincah mereka mainkan. Tentu saja semua masih dengan pendampingan. Karena tak semua informasi yang tersedia, ramah untuk pemahaman anak-anak. Begitulah sedikit gambaran tumbuh kembang anak generasi milenial.
GENERASI MILENIAL DAN NORMA
Akan menjadi tidak mudah, ketika orang tua dan anak memiliki pendapat yang berbeda tentang norma. Pemahaman norma bagi anak generasi milenial berbeda dengan pemahaman norma bagi generasi tahun 80’an. Anak yang tumbuh di era gadget mudah digenggam, adalah anak-anak yang terbiasa berinteraksi dengan ponsel pintar di tangan. Anak generasi 80’an adalah anak-anak yang bermain bersama teman menggunakan daun, batu dan kayu. Pola interaksi sosial yang berbeda inilah yang membentuk pemahaman yang berbeda tentang norma dan adab bergaul.
Mengajarkan anak generasi milenial tentang norma tidak bisa dengan ceramah dan nasihat setiap hari. Apa yang kita bicarakan akan menjadi angin lalu dan sebatas mampir di telinga. Menyamakan persepsi antara orang tua dan anak bukan lagi menjadi hal yang mudah. Tantangan orang tua bukan sekedar mendidik mereka untuk mendapat nilai tertinggi di sekolah, melainkan justru bisa berkomunikasi baik dan lancar dengan anaknya sendiri. Percayalah, berkomunikasi bukan lagi menjadi hal yang mudah.
Ironis bukan?
Di era yang katanya teknologi informasi begitu pesat berkembang, justru komunikasi orang tua dengan anak menjadi amat sulit. Di zaman yang ketika berbicara dengan orang di tempat yang jauh bisa langsung bertatap muka, justru pola bicara orang tua dan anak sangat susah untuk saling beradu mata. Teknologi yang katanya bisa membuat yang jauh terasa dekat, ternyata justru menjauhkan yang dekat. Apakah orang tua akan terus menutup mata akan hal ini?
FILM MY GENERATION
Upi melihat cerita dan fenomena generasi milenial ini menjadi kisah yang layak untuk diangkat ke layar lebar. Film yang menceritakan tentang kisah persahabatan remaja SMU ini mengambil cerita dari sudut pandang remaja yang mempertanyakan sikap orang tuanya. Dalam film ini Upi sebagai Sutradara mengajak orang tua untuk memperlakukan anak-anaknya sebagai teman diskusi, bukan sebagai obyek perintah dan penanaman dogma.
4 pemain baru mengisi tokoh utama dalam film ini. Zeke yang diperankan oleh Bryan Angelo, Konji diperankan oleh Arya Vasco, Lutesha sebagai Suki dan Alexandra Kosasie sebagai Orly. 4 Remaja yang yang merasa libur sekolahnya berantakan, dan kemudian menemukan petualangan yang tak terduga dalam menghabiskan masa liburannya. Selisih pendapat dengan orang tua, naik dan turunnya emosi persahabatan hingga masalah-masalah yang dihadapi empat remaja ini menjadi pelajaran berharga bagi kehidupan mereka.
Seperti film-film Upi pada umumnya, film My Generation ini juga memberikan gambaran yang terlalu berani untuk menelanjangi realitas kehidupan remaja masa kini. Karena itu pro dan kontra sudah mulai muncul sejak sebelum film ini tayang di bioskop. Memang tidak semua kehidupan remaja persis sama seperti yang tergambar dalam film ini. Namun kita juga tidak bisa menutup mata adanya realita kehidupan remaja yang sekarang sedang menjadi trend. Simak saja siapa selebgram yang sempat menjadi idola di kalangan anak muda dengan jumlah follower sosmed jutaan.
Dalam film ini juga, Upi menyodorkan kaca kepada kita untuk melihat diri sendiri, sudahkah kita memanusiakan anak-anak kita? Orang tua bukan Tuhan yang bisa menghakimi dan menempelkan stempel di wajah anak-anaknya. Orang tua juga manusia yang bisa salah dan khilaf. Sebagai orang tua, sudahkah kita bercermin contoh seperti apa yang sudah kita tunjukkan dan berikan kepada anak-anak kita?
My Generation memberikan gambaran sisi lain remaja generasi milenial yang sebenarnya open minded dan terbuka. Mereka adalah pribadi yang tidak ingin terikat dogma. Jika orang tua mendapati anak-anaknya malas pergi sekolah, tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah, jangan lantas memberikan mereka label pemalas. Mungkin sudah saatnya orang tua memberikan penyegaran dalam metode belajar anak-anak. Ajak mereka berkomunikasi tentang apa yang mereka inginkan dan ajarkan berpikir untuk menemukan solusi bersama-sama. Karena sesungguhnya anak-anak generasi milenial adalah anak-anak yang kritis dan kreatif.
Film yang akan tayang pada tanggal 9 November 2017 serentak di seluruh bioskop di Indonesia ini menjadi reminder untuk orang tua agar mereka mau membuka mata melihat realita kehidupan remaja. Sudah saatnya orang tua juga bepikir dan mengevaluasi diri sendiri tentang pola komunikasi yang dibangun dengan anak-anaknya.
Film ini tidak mengajak atau memberikan teladan pada kebebasan bergaul. Film ini mengajak kita berpikir dan bersikap kritis terhadap moral yang sebenarnya kita tanamkan pada anak-anak kita. Gambaran keterbukaan dan kebebasan bergaul yang ditampilkan dalam film ini hanyalah salah satu potret yang ditunjukkan tentang realita kehidupan remaja saat ini. Namun sesungguhnya yang ingin disoroti dalam film ini bukan pada kebebasan bergaul, namun pada pola komunikasi dan pola asuh penanaman moral yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya.
Tak hanya diisi oleh talenta-talenta baru, film My Generation ini juga akan dilengkapi oleh pemain lama seperti, Surya Saputra, Tyo Pakusadewo, Ira Wibowo, Indah Kalalo, Karina Suwandi dan masih banyak lagi. Untuk mengerjakan film bergenre remaja ini, Upi juga telah melakukan riset social media hearing selama 2 tahun. Riset yang intensif ini juga digunakan Upi untuk melihat gaya percakapan dan pola dialog dalam komunikasi remaja. Sehingga adegan dalam film dapat mengalir halus sesuai trend anak remaja masa kini.
Bagaimana? Sudah siap untuk menonton bersama para anak remaja kita?
Sudah saatnya kita membuka diri untuk mendapatkan nada yang sama dengan anak-anak kita. Agar harmoni dalam keluarga bisa terus terjaga. Semoga kita tetap amanah dalam menjaga titipan-Nya.
……………
disclaimer: Semua foto yang digunakan di artikel ini diambil dari media sosial My Generation Film (IFI Sinema)
No Comments :