Melewati Masa Duka – Part 1
Kehilangan satu orang tersayang saja sudah menyisakan duka yang panjang. Bagaimana jika dua atau tiga orang sekaligus? Sampai hari ini aku masih belum mampu memahami banyak hal dibaliknya.
Setelah kehilangan tiga orang tersayang dalam waktu kurang dari dua bulan, bisa kah kalian membayangkan rasanya? Percayalah, banyak yang menanyakan hal yang sama kepadaku. Gimana rasanya kehilangan banyak orang dalam waktu yang berdekatan?
Rasanya seperti berjalan di tengah kabut tebal, yang benar-benar sangat tebal bahkan kamu tak mampu memandang ujung jari di depan matamu. Sangat tebal dan dingin. Ada banyak rasa takut, rasa khawatir, rasa tidak tahu, rasa tidak paham. Ada banyak kata “mengapa”, “bagaimana”, “lalu apa” dan berbagai pertanyaan yang tidak pernah ada jawabannya. Ada banyak mimpi yang tiba-tiba hancur seperti bangunan lego yang sudah tertata tinggi tiba-tiba berantakan berserakan dan banyak kepingan yang hilang hanya dalam waktu sekejap. Tidak mungkin dibangun lagi dengan utuh seperti semula. Tidak mungkin berjalan tanpa menabrak sesuatu. Tidak mungkin keluar dari kabut tanpa badan basah kuyup.
Apalagi kejadian seperti ini bukan pertama kalinya buatku. Sebelas tahun yang lalu aku kehilangan Bapak dan adik berselang 17 hari saja. Bukan karena musibah kecelakaan atau pandemi, bukan. Bapak meninggal karena sakit jantung. Adikku sampai sekarang tidak diketahui sakit apa. Hanya sebelum meninggal itu dia demam tiga hari. Demamnya pun bukan yang demam tinggi. Di sela demamnya masih bisa membantu ibu menjemur baju dan berkomunikasi dengan normal, tidak nampak wajah seperti orang sedang sakit.
Pun begitu awal tahun 2023 kemarin. Aku kehilangan suami, papa mertua dan ibuk hanya berselang beberapa hari saja. Suamiku meninggal awal Februari 2023. Papa meninggal tanggal 27 hari kemudian. Sedangkan ibuk meninggal 21 hari setelah kepergian papa. Ketiganya meninggal karena sakit yang hampir sama. Suamiku meninggal karena pecah pembuluh darah di otak, 3 hari di rawat di RS dalam kondisi koma, lalu meninggal. Ibu dan papa memang sudah sakit stroke sebelumnya. Apalagi ibuku memang sedang menurun drastis kesehatannya.
3 kali mendirikan tenda dan mengibarkan bendera kematian bukan hal yang mudah. Jika orang lain melihatku masih bisa wara-wiri, bertemu banyak orang tanpa air mata, percayalah, dibalik itu aku sempat tidak sanggup bangun. Mataku sembab berkali-kali hingga hari ini. Segala macam penyakit masa kecil, auto imun, mulai bermunculan kembali. Aku pun tumbang berkali-kali.
Pun dari kondisi psikologis, aku beberapa kali terapi untuk memulihkan luka batinku. Aku tidak sekuat itu. Aku pun membutuhkan bantuan, aku pun terluka. Tentang luka dan penyembuhan psikologis ini mungkin akan aku bahas di bagian 2. Doakan aku sanggup membuka luka itu satu persatu dan mengupasnya ya…
Namun yang jelas, aku bisa melewati semua itu dan masih bisa terlihat tegak berdiri karena bantuan banyak orang. Ucapan terima kasih tak terhinggaku untuk adik-adikku, adik-adik iparku, dan sahabat-sahabatku yang tak pernah lelah menanyakan kabarku hampir setiap hari hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Bahkan dua kunyilku yang entah kenapa bisa menjadi super protektif melebihi ayahnya, yang menjagaku dari segala sisi, yang bawel setiap saat melebihi bawelnya ibukku.
Duka pasti meninggalkan luka. Tapi luka bukan sesuatu yang tak bisa disembuhkan. Bahkan luka yang cukup dalam pun, Allah sanggup menyembuhkan melalui ‘tangan-tangan’ semesta yang bekerja untuk-NYA.
Duka dan luka ini masih belum sembuh benar. Aku masih harus melewati beberapa kali lagi rangkaian terapi dan konsultasi. Aku memang bisa berjalan meski tertatih. Tapi suatu hari, aku ingin kembali bisa berlari dan terbang tinggi. Aku semestinya bisa kembali, untuk mengantarkan dua bocahku kembali meraih angkasa. Doakan yaa…
No Comments :