Gaya Pengasuhan Ibu Dulu Ketika Anaknya Ujian
Hari ini saya dapat reminder dari wali kelas si bocah kalau bulan depan sebelum puasa, anak-anak sudah menghadapi ujian semester. Tak berapa lama, whatsapp group saya heboh dengan celoteh para ibu yang membahas tentang ujian sekolah. Beruntungnya isi celotehan bukan berbagi kepanikan menghadapi ujian, tetapi berbagi pengalaman bagaimana ibu-ibu kita dulu menghadapi anak-anaknya yang mau ujian. Isinya? Beragam. Ada yang diwajibkan dapat juara 1, ada yang super selow, belajar terserah, gak belajar, rasain sendiri. Bagaimana dengan ibu saya?
Ibu saya bukan seorang ibu yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Kehidupan ibu cukup keras dalam mengawal adik-adiknya. Beliau rela untuk tidak meneruskan sekolah demi adik-adiknya bisa bersekolah, hingga lulus sarjana. Sementara ibu sendiri hanya bisa sekolah sampai kelas 5 SD. Beliau menghabiskan masa mudanya dengan bekerja di sebuah pabrik kosmetik ternama di Surabaya.
Ibu tak pernah memaksakan kami untuk harus menjadi juara. Pun ibu tak pernah memberikan target kepada kami harus mendapat nilai tertentu. Untuk urusan nilai dan ranking, ibu sangat demokratis. Yang ibu tahu hanya ibu harus bekerja sekuat tenaga bersama bapak, demi memberikan hidup yang layak untuk empat anaknya.
Namun jangan dikata hal yang sama berlaku untuk urusan pekerjaan rumah. Saya dan adik-adik punya kewajiban untuk mencuci baju seluruh orang di rumah sejak kami masih duduk di sekolah dasar. Setiap pagi, selain harus mengisi air untuk mandi, kami harus membantu ibu mencuci baju. Awalnya tugas kami hanya membilas baju atau menjemur baju yang sudah dicuci saja. Lama kelamaan, tugas mencuci diserahkan kepada kami sepenuhnya. Kalau bangun kesiangan, jangan dikira kami bebas dari tugas mencuci baju. Kalau bangun kesiangan ya tetap harus selesaikan dulu mencuci baju, baru bisa berangkat sekolah. Sampai sekolah terlambat? Resiko ditanggung sendiri. Mungkin itu juga yang menyebabkan kami harus pandai-pandai mengatur waktu sendiri, sejak kami masih SD. Hampir tidak ada teriakan cempreng yang membangunkan kami. Lantas kenapa sekarang saya menikmati sekali gegoleran di tempat tidur kalau libur tiba ya? Anggap saja itu bentuk pelampiasan dan kemerdekaan. *ngeles*
Untuk urusan ujian, ibu tak pernah benar-benar tahu. Apakah besok mulai ujian atau tidak, ibu blasss gak paham. Jadi tidak ada teriakan panjang, atau tausiah berjam-jam ketika kami mau ujian. Suasana menjelang ujian, mau itu ujian ebtanas atau ujian catur wulan (dulu masih pakai sistem cawu), semuanya bergantung sama kesiapan kami masing-masing. Justru yang sering terjadi malah saya yang ngomel panjang untuk mengajak dua adik lelaki saya belajar.
Yaaaa… mohon dimaklumi, sebagai anak pertama dan perempuan satu-satunya, saya adalah mahluk paling bawel di rumah. Apalagi untuk urusan belajar dan urusan sekolah. Mungkin ibu bisa selow juga karena sudah ada saya yang nyinyirnya masyaAllah ketika adik-adiknya mau ujian. Hampir setiap malam saya yang nguprek-uprek adik dan membantu mereka belajar. Bahkan kalau bapak menyalakan TV saat kami belajar, sudah bisa ditebak siapa yang bakal nyinyir duluan.
Entah kesambet setan mana, yang jelas ketika berurusan dengan pelajaran di sekolah, saya mudah panik sendiri. Meski ibu atau bapak tidak pernah menegur saya atau bertanya dapat nilai berapa, saya merasa takut ketika teman-teman bisa melakukan sesuatu, tetapi saya tidak bisa. Kesadaran untuk belajar itu timbul karena ada rasa saya tidak ingin tertinggal, saya juga harus bisa.
Ibu tidak pernah mewajibkan jam sekian sampai jam sekian harus belajar. Ibu tidak pernah menanyakan hari ini saya ada PR atau ulangan harian saya dapat berapa? Ibu tidak tahu sama sekali apakah hari ini saya bisa menjawab pertanyaan di sekolah atau saya kena strap karena terlupa mengerjakan tugas. Mungkin yang ibu tahu hanya hari ini anaknya pulang sekolah tidak menangis. Itu saja sudah cukup.
Saya kecil adalah mahluk penakut dan cengeng. Masuk TK, saya berkali-kali membuat baju ibu sobek karena adu tarik. Saya tidak mau masuk kelas tanpa ditemani ibu. Saya kecil adalah sasaran empuk perundungan. Waktu TK saya punya teman yang rajin sekali memukul dengan keset atau penggaris setiap kali berbaris, dan saya adalah sansak setianya setiap hari. Masih terbayang jelas betapa takutnya saya setiap kali waktu sekolah tiba. Maka tak heran, saya pun takut bukan main ketika lupa mengerjakan tugas atau tidak bisa menjawab soal. Itu kenapa ibu tak perlu capek teriak untuk membuat saya belajar.
Meski tidak ada tuntutan dari bapak maupun ibu, kesadaran belajar dan mengatur waktu itulah yang membuat saya menjadi langganan juara ketika sekolah. Setiap ujian tiba, biasanya saya minta ibu membangunkan saya jam 3 pagi untuk belajar. Untuk masalah begadang, iman mata saya sangat lemah. Jadi jika ada yang harus saya kerjakan hingga larut malam, saya memilih tidur dulu, dan bangun lebih awal untuk mengerjakannya. Demikian juga ketika ujian. Saya memilih tidur dulu, dan bangun sebelum shubuh untuk belajar. Pagi buta itu biasanya saya sendiri. Setelah membangunkan saya, jika ibu terlalu capek, kadang ibu tidur lagi. Namun tak jarang ibu turut beranjak ke dapur untuk menjerang air dan membuatkan saya secangkir teh hangat. Setelah ditemani teh hangat, ibu kembali membiarkan saya sendiri khusuk dengan buku-buku.
Demikianlah gaya pengasuhan ibu saya dulu dalam masalah sekolah. Beberapa hal masih saya pakai hingga sekarang. Saya juga tidak pernah menuntut dua bocah kecil saya untuk memiliki nilai tertentu. Saya tidak pernah mewajibkan bocah kecil saya jam sekian harus belajar. Namun untuk membentuk disiplin belajarnya, biasanya saya berikan mereka pilihan, mau belajar siang selepas pulang sekolah, atau belajar malam hari setelah pulang mengaji. Mereka bebas memilih. Bahkan kalau bersama ayahnya, mereka juga bebas untuk tidak memilih keduanya. Tapi kalau sama bundanya, tetap harus dipilih salah satu. Selebihnya mereka bebas bermain dan bereksplorasi, main lego, membaca, bikin-bikin, pretend play, terserah.
Kebebasan yang kami berikan bukan berarti kami tidak peduli dengan pendidikan. Kami tetap concern dengan hal-hal yang menjadi minat dan bakat dua bocah tersebut. Mereka harus menguasai skill tertentu yang menjadi kesukaan mereka. Kami tidak mewajibkan mereka harus memiliki nilai 100 di semua pelajaran. Namun untuk hal-hal yang menjadi kesukaan mereka, tanpa harus dikomando dan dipaksa, nilai 100 mudah saja tergenggam.
Seperti yang sering di dengungkan para alumni the urban mama, “there is always different story in every parenting style”. Tidak ada kebenaran yang mutlak dalam pola asuh. Apa yang terjadi dalam keluarga kami, adalah yang cocok bagi gaya kami. Tulisan kali ini pun hanyalah kenang-kenangan atas nama masa kecil. Jika kalian memiliki pendapat yang berbeda pun tak mengapa. Bebas untuk berbagi di kolom komentar. Semoga bisa membantu melegakan perasaan bagi yang sejalan dan senasib. Selamat (terus) belajar!
Kalau jaman SD dulu, bapakku yg nunggu saat belajar matematika trutama saat ujian. Kalau nggak bisa dimarahin. Terus besoknya wis datang guru les.
Toss mbak. Yang ngajari baca tulis pertama kali juga bapak. Setelah bisa, wis gak nutut.
Aku dulu kayaknya belajar sendiri. Adiik2ku dua masih kecil butuh perhatian lebih. Itupun kalau aku ingat belajar hahaha
Kok di WA grup wali.murid kelas Sidqi blum.ada woro2 ttg UAS ya?
Semangaatt abis gitu puasa dan liburrrr panjaaanģ
Tadi di w.a di kasih tahu tanggal 7 Mei mbak… Wali kelas Kira emang razin kasih woro-woro
Aku kok malah deg2an ya mempersiapkan nanti anakku masuk sekolah gimana ?
Waktu SD kelas bawah aku belajar didampingi ibu terutama kalo pelajaran matematika. Padahal yg jadi guru bapakku
Waktu SD kelas bawah aku belajar didampingi ibu terutama kalo pelajaran matematika. Padahal yg jadi guru bapakku, tapi di rumah belajar anak ibu yang handle
Jadi dapat masukan ilmu baru nih buat saya kelak berkeluarga dan punya anak nanti.