Ketika Si Kembar Belajar Puasa

KETIKA SI KEMBAR BELAJAR PUASA – Satu Ramadhan kembali berlalu. Setiap orang, setiap keluarga tentu menyimpan kenangan tentang Ramadhannya masing-masing. Termasuk keluarga kami. Tahun ini adalah tahun kedua bocah kembar kami belajar puasa. Mungkin buat sebagian orang kisah kami biasa-biasa saja. Banyak yang menjalani hal serupa, bahkan jauh lebih baik. Namun cerita ini bukan tentang siapa yang lebih hebat. Ini hanya cerita orang tua tentang perjalanan anak-anaknya.

Kami tidak pernah memaksakan atau memiliki target bocah kami harus sudah puasa penuh umur sekian. Kami menjalani dan mengajarinya dengan penuh suka cita, tidak ada paksaan, atau iming-iming segala macam. Kami percaya bahwa ibadah adalah tentang perjalanan spiritual masing-masing individu. Tidak bisa dipaksakan apalagi dicampuri.

Kira dan Kara mengenal puasa jauh sebelum mereka benar-benar ikut berpuasa. Sejak umur 2-3 tahun’an, mereka sering terbangun ketika kami sedang bersantap sahur bersama. Karena tinggal dengan mertua, maka hampir setiap santap sahur rumah kami riuh rendah dan meriah oleh celoteh anggota keluarga. Maklum serumah isinya orang banyak yang senang ngobrol dan diskusi bahkan bergosip. Karena itu suasana sahur di rumah kami selalu meriah. Ditambah lagi suara TV yang selalu menyala setiap kali papa bangun tidur, menambah kemeriahan suasana sahur di rumah kami.

Rupanya kemeriahan itulah yang sering mengundang Kira dan Kara untuk ikut bangun dan “makan” sahur. Dulu ketika terbangun mereka akan ikut makan apa saja yang buat mereka menyenangkan. Mulai dari susu, kue, roti atau apa saja yang tersaji di meja kecil di depan TV. Dan semua itu mereka lakukan karena rasa penasaran, dengan sukarela, tanpa dipaksa. Mungkin mereka menganggap makan bareng di pagi buta bersama-sama itu sama menyenangkannya, hingga rasa kantuk pun terkalahkan oleh rasa penasaran. Selesai santap sahur dan sholat shubuh mereka pun kembali terlelap.

Dalam perjalanannya mereka lalu bertanya, kenapa ayah, bunda, uti, akung, dan om selalu makan ketika masih gelap? Saat itulah kami mengenalkan tentang makan sahur dan apa itu puasa. Maka sejak itu mereka penasaran seperti apa rasanya puasa, dan beberapa kali minta untuk ikut puasa. Saya menjanjikan tahun depan, ketika usianya sudah lebih dari 5 tahun mereka boleh ikut berpuasa. Bukan karena apa, tapi karena berat badan mereka yang selalu bikin dag dig dug. Mungkin berat badan Kira tak terlalu mengkhawatirkan, namun berat badan Kara selalu mengundang rasa tak tega jika mengijinkannya untuk berpuasa. Bisa bayangkan, disaat sekarang umurnya genap 7 tahun, berat badannya tak lebih dari 14 kg. Bukan, bukan karena ia kurang gizi, tapi karena dia termasuk tipe slow growth. Seluruh tumbuh kembangnya normal, hanya berat badannya saja susah naiknya. Tak usah tanya kenapa, cukup tengok saja siapa ibunya.

Mengijinkan Kira dan Kara berpuasa dan mengajarkan mereka untuk menahan rasa lapar dan haus sebenarnya bukan hal yang susah bagi kami. Kenapa? Karena memang sangat jarang mereka mengeluh lapar di kesehariannya. Bahkan lebih banyak diingatkan ketika waktunya makan tiba, dibandingkan mereka mengeluh lapar terlebih dahulu. Malah terkadang saya sengaja tidak masak apapun sampai mereka sendiri minta makan. Tega? Ya antara tega dan gak tega. Cuma penasaran saja, sebenarnya mereka ini punya rasa lapar atau tidak..  ^_^

Sesuai janji saya tahun sebelumnya, ketika usianya sudah lebih dari 5 tahun, saya ijinkan mereka untuk ikut berpuasa. Karena masih belajar, seperti kebanyakan anak-anak yang lain mereka masih berpuasa setengah hari. Itu berarti sehari mereka masih makan 3 kali. Bedanya hanya mengatur jam makannya dan jam cemilannya. Tengah hari ketika adzan Dhuhur mereka boleh makan berat dan cemilan sekaligus. Setelah itu kembali berpuasa hingga waktu adzan Maghrib tiba. Tak dinyana ternyata mereka sangat konsisten menjalankan puasa pertamanya. Kami hampir tak mengalami kendala berarti mengajarkan mereka berpuasa. Mulai dari bangun sahur, mengajarkan kapan boleh makan dan kapan harus berhenti, semua dijalani dengan keikhlasan dan kesadaran. Bahkan bisa dibilang mereka jauh lebih konsisten dari saya sendiri. Padahal ketika tahun pertama belajar puasa, kita sedang mudik di rumah ibu di Ngawi. Ketika menempuh perjalanan pulang dari Ngawi ke Surabaya saya sudah berpikiran jika mereka haus di jalan, saya akan mengijinkan mereka untuk membatalkan puasanya. Ternyataa mereka konsisten dan menunggu saat benar-benar waktu berbuka tiba. Jadi tahun pertama puasa dijalankan dengan sukses oleh mereka. Alhamdulillah.

Menginjak tahun kedua, kami masih belum memaksa atau meminta untuk puasa satu hari penuh. Lagi-lagi selain karena pertimbangan berat badan, kami ingin mereka menjalani ibadah karena keinginan sendiri. Menjalankan puasa penuh dengan keinginan sendiri tentu akan lebih mengurangi rewel dan bosan menunggu waktu berbuka tiba. Jadi kami bebaskan mereka untuk puasa sesuai kemampuan mereka. Namanya belajar tentu ditakar sesuai kemampuan sendiri. Bukankah mampu bukan hanya bisa menahan rasa lapar dan haus, tapi juga mampu mengatasi emosi dan mengontrol nafsu diri sendiri. Namun di tahun ini Kira dan Kara sudah tahu kapan waktu berbuka yang sesungguhnya. Sehingga mereka tahu dan punya motivasi untuk bisa terus belajar puasa satu hari penuh.

Seperti harapan kami, pelan-pelan mereka meminta untuk belajar mengupgrade kemampuan sendiri. Di hari kesekian puasa, tiba-tiba Kira minta untuk berbuka ketika adzan Ashar. Dia tidak keberatan meski Kara tetap berbuka ketika adzan Dhuhur. Bukankah kemampuan tiap orang berbeda-beda? Kami ijinkan mereka berbuka diwaktu yang berbeda. Tanpa rewel, tanpa paksaan dan tanpa iming-iming apapun. Kira yang awalnya adzan Ashar makan penuh, lalu minta berbuka Ashar hanya minum dan makan 1 cemilan saja. Lalu dilanjut keesokan harinya minta mencoba puasa satu hari penuh. Alhamdulillah, Kira sukses menjalaninya.

Melihat Kira bisa puasa satu hari penuh, bisa diduga Kara pun penasaran. Diikutilah jejak saudara kembarnya untuk mencoba puasa sampai adzan Ashar, dilanjut keesokan harinya puasa penuh. Alhamdulillah sukses. Tapi karena dasarnya rasa penasaran dan tak ingin kalah, maka untuk Kara masih diselingi pertanyaan sehari 1000x apa adzan Maghrib masih lama. Ternyata belajar pun banyak caranya dan berbeda-beda. Ayo nduk, kita belajar tentang kesadaran diri sendiri dan mengekang keinginan sendiri. Seperti kereta kuda, dibutuhkan tali kekang untuk mengendalikannya agar sampai di tujuan dengan aman dan selamat.

Jadi tahun ini mereka menjalankan puasa on-off antara setengah hari, ¾ hari, hingga puasa satu hari penuh. Insyaallah belajarnya meningkat ya nduk..

Sekali lagi ini bukan tentang siapa yang lebih hebat. Tapi ini tentang catatan sebuah perjalanan.  Selama masih mau untuk terus belajar, maka kalian semua hebaaat!



Related Posts :

4 Comments :

  1. Alhamdulillah, anak-anak bisa belajar puasa karena kemauan sendiri ya mbak
    aku dulu juga seperti ini pola ngajarin puasa krn si sulung juga sama bermasalah dengan berat badannya, persis seperti Kara,


  2. Ternyata anak kembar aja bisa ga sama moodnya ya bun. Saya kira mereka bisa barengan belajar puasanya….tapi salut lah buat si kembar Kira dan Kara


  3. Baca ini jadi inget masa kecil, sepertinya hampir semua anak kecik mengalami ini hehe. Mesti tanya mulu sama ibuk, “Adzan Maghribnya masih lama ya?” wkwkk tp alhamdulillah ibuk nggak capek jawab.

    Apalagi pas udah jam 5 sore. Mesti udah duduk rapi di meja makan haha


  4. ih, kecil2 dah belajar puasa. pinter deh. semoga jadi anak2 shalihah ya 🙂


Leave a Reply to anik Cancel :

* Your email address will not be published.

ABOUT ME
black-and-white-1278713_960_720
Hi I’am Wiwid Wadmira

I am a mom of twin who love reading, writing and de cluttering. I blog about my parenting style, financial things & reviews. You may contact me at mykirakara@gmail.com

------------------
My Instagram
Invalid Data